Minggu, 19 Mei 2013

biografi jatinangor

Hilman Kusmayadi
Tafsir Hadits/Semester 5
1210103018
Jatinangor
Jatinangor adalah suatu kecamatan yang terletak diwilayah Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia yang berbatasan langsung dengan daerah Bandung (Ibukota Jawa Barat). Nama Jatinangor mulai dikenal sejak tahun 2000-an yang sebelumnya kecamatan ini bernama Cikeruh. Nama Cikeruh diambil dari sungai (Ci keruh) yang melintasi kecamatan yang sekarang bernama Jatinangor.  Kecamatan Jatinangor terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Kode Pos untuk kecamatan Jatinangor adalah 45363.
Saat ini Jatinangor dikenal sebagai salah satu kawasan pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung pembangunan kampus beberapa institusi perguruan tinggi di kecamatan ini. Perguruan tinggi yang saat ini memiliki kampus di Jatinangor yaitu :
1.      Universitras Padjajaran (UNPAD) di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh 
2.      Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Desa Cibeusi. Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
3.      Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) di Desa Cibeusi.
4.      Institut Teknologi Bandung (ITB) di Desa Hegarmanah. Sebelumnya tempat ITB kampus jatinangor ini dimiliki Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Seiring hadirnya kampus-kampus di Jatinangor, banyak lahan-lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perbelanjaan, pembangunan perumahan, rumah sewa, bahkan apartemen telah dibangun tepat dibelakang pusat perbelanjaan Jatinangor Town Square (JATOS). Hal inilah yang menjadikan Jatinangor sebagai kecamatan di daerah Sumedang yang pertumbuhannya paling pesat dibandingkan kecamatan lainnya di Sumedang.
Saat ini penduduk di kawasan kampus Jatinangor kebanyakan adalah para pendatang yang membeli lahan dari penduduk asli kawasan pendidikan (Desa Hegarmanah, Cibeusi, Cikeruh, Cikuda dan Ciawi). Para pendatang memanfaatkan lahan yang telah dibelinya untuk dijadikan rumah kost-kostan ataupun beraneka tempat perbelanjaan yang terletak di sepanjang jalan Jatinangor. Para penduduk asli kawasan pendidikan Jatinangor banyak yang “mengungsi” ke desa-desa yang jauh dari pusat keramaian seperti ke daerah desa Cintamulya, Cipacing, Cisempur, dan desa Sayang.
Di jatinangor terdapat salah satu bangunan bersejarah yang terletak di desa Cikuda yang bernama Jembatan Cincin. Pada mulanya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan. Dan pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat. Objek pariwisata di Jatinangor antara lain meliputi Bumi Perkemahan Kiara Payung dan Bandung Giri Gahana (Golf and Resort). Sebenarnya sebagian besar tanah Bumi Perkemahan Kiara Payung terletak dalam wilayah Kecamatan Tanjungsari. Yang penulis ketahiui Bandung Giri Gahana (Golf and Resort) pernah beberapa kali didatangi oleh Presiden Soeharto untuk sekedar bermain Golf.



Makalah pacaran dalam islam

MAKALAH
PACARAN MENURUT ISLAM
Diajukan untuk memenuhi tugas individu
MATA KULIAH FIQH
OLEH :
 USTAD ABDUL AZIZ M. Ag

Description: Description: E:\data sementara\De Rahman\derman\Logo UIN Bandung Warna.jpg

Disusun oleh ;
Hilman kusmayadi


TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang suci, yang dibawa oleh nabi Muhammad saw sebagai rahmat untuk semesta alam. Setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk menikmati kehidupan baik hewan, tumbuhan maupun manusia (terutama) yang menyandang gelar khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu ajaran Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap 5 hal yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
Memelihara jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia. Namun, tidak semua orang merasa senang dan bahagia dengan setiap kelahiran yang tidak direncanakan, karena faktor kemiskinan, hubungan di luar nikah dan alasan-alasan lainnya. Hal ini mengakibatkan, ada sebagian wanita yang ‘stress’ atas bayi yang dikandungnya dari hasil hubungan diluar pernikahan akibat pergaulan bebas yang sekarang menular pada generasi kita.

Semoga kita dalam bimbingan Alloh SWT.
















BAB II
PEMBAHASAN
Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Dalam pacaran, ada aktivitas yang disebut dengan kencan. Aktivitas ini berupa kegiatan yang telah direncana maupun tak terencana. Kencan yang tak terencana disebut dengan blind date.
Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi dalam masyarakat individu-individu yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Berdasarkan tradisi zaman kini, sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah menjalin hubungan cinta-kasih yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau percumbuan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar). Memacari adalah mengencani; (atau) menjadikan dia sebagai pacar. Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah. Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), dating (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya.
Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW :
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Pacaran dalam Islam (menurut pandangan yang lain) [1]
Bagaimana sebenarnya pacaran itu enak tidak?  Bahaya atau tidak? Apakah  pacaran itu harus kita lakukan kalau ingin nyari pasangan hidup kita ? Apakah memang benar ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah fitrah
Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat kawan-kawan sekalian. yang diingat hanya si dia, ingin selalu berdua, akan makan ingat si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela mengorbankan apa aja demi cinta, rela melakukan apa saja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampai akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang bahaya lagi, karena karena ingin membuktikan cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak .... dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo tidak terpenuhi manusia akan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat dll. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan saja, tapi kalau tidak  terpenuhi manusia tidak akan mati, hanya akan gelisah (tidak tenang) sampai terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
a. Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, ingin diakui, dll.
b. Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
c. Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.

Pacaran dalam perspektif islam
Faktanya, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang sedang “kasmaran,” dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas lain yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampai-sampai sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat sekali dengan zina. Jadi kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, dan  tidak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetap saja pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka “mojok” atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup auratnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia tidak punya kewenangan menentukan sama sekali, manusia hanya dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."

Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejwantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.
Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wnaita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemua langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. “[2](HR. Bukhari) Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.




















Bab III
Kesimpulan
Istilah pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri remaja yang menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai keinginan untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai "naksir" lawan jenisnya. Lalu ia berupaya melakukan pendekatan untuk mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Setelah pendekatannya berhasil dan gayung bersambut, lalu keduanya mulai berpacaran.

Pacaran dapat diartikan bermacam-macam, tetapi intinya adalah jalinan cinta antara seorang remaja dengan lawan jenisnya. Praktik pacaran juga bermacam-macam, ada yang sekedar berkirim surat, telepon, menjemput, mengantar atau menemani pergi ke suatu tempat, apel, sampai ada yang layaknya pasangan suami istri.

Di kalangan remaja sekarang ini, pacaran menjadi identitas yang sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar di kalangan remaja tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga menjadi kebutuhan sosiologis. Maka tidak heran, kalau sekarang mayoritas remaja sudah memiliki teman spesial yang disebut "pacar".

Lalu bagaimana pacaran dalam pandangan Islam??? Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk istilah hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam  mengenalkan istilah "khitbah (meminang". Ketika seorang laki-laki menyukai seorang perempuan, maka ia harus mengkhitbahnya dengan maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama masa khitbah, keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduaan, memperbincangkan aurat, menyentuh, mencium, memandang dengan nafsu, dan melakukan selayaknya suami istri.

Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan khitbah. Pacaran tidak berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah merupakan tahapan untuk menuju pernikahan. Persamaan keduanya merupakan hubungan percintaan antara dua insan berlainan jenis yang
tidak dalam ikatan perkawinan.Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara pacaran dan khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang mempraktikkannya. Jika selama masa khitbah, pergaulan antara laki-
aki dan perempuan melanggar batas-batas yang telah ditentukan Islam, maka itu pun haram. Demikian juga pacaran, jika orang dalam berpacarannya melakukan hal-hal yang dilarang oleh Islam, maka hal itu haram.
Jika seseorang menyatakan cinta pada lawan jenisnya yang tidak dimaksudkan untuk menikahinya saat itu atau dalam waktu dekat, apakah hukumnya haram? Tentu tidak, karena rasa cinta adalah fitrah yang diberikan allah, sebagaimana dalam firman-Nya berikut:Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Allah telah menjadikan rasa cinta dalam diri manusia baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya rasa cinta, manusia bisa hidup berpasang-pasangan. Adanya pernikahan tentu harus didahului rasa cinta. Seandainya tidak ada cinta, pasti tidak ada orang yang mau membangun rumah tangga. Seperti halnya hewan, mereka memiliki instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah tangga.
Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.




Di antara batasan-batasan tersebut ialah:
1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada zina
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina: sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32) Maksud ayat ini, janganlah kamu melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan kamu pada perbuatan zina. Di antara perbuatan tersebut seperti berdua-duaan dengan lawan jenis ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya.

2. Tidak menyentuh perempuan yang bukan mahramnya
Rasulullah SAW bersabda, "Lebih baik memegang besi yang panas daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau ia tahu akan berat siksaannya). "

3. Tidak berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk berdua-duan. Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak mahramnya, karena ketiganya adalah setan." (HR. Ahmad).


4. Harus menjaga mata atau pandangan
Sebab mata kuncinya hati. Dan pandangan itu pengutus fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu Allah berfirman, "Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka memalingkan pandangan (dari yang haram) dan menjaga kehormatan
mereka.....Dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka meredupkan mata mereka dari yang haram dan menjaga kehormatan mereka..." (QS. An-Nur: 30-31)
Yang dimaksudkan menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak melepaskan pandangan begitu saja apalagi memandangi lawan jenis penuh dengan gelora nafsu.

5. Menutup aurat
Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan dilarang memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk suaminya. Dalam hadis dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah dengan berpakaian yang mempertontonkan lekuk tubuh, memakai minyak wangi yang baunya semerbak, memakai "make up" dan sebagainya setiap langkahnya dikutuk oleh para Malaikat, dan setiap laki-laki yang memandangnya sama dengan berzina dengannya. Di hari kiamat nanti perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga (apa lagi masuk surga) Selagi batasan di atas tidak dilanggar, maka pacaran hukumnya boleh.
Tetapi persoalannya mungkinkah pacaran tanpa berpandang-pandangan, berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya. Kalau mungkin silakan berpacaran, tetapi kalau tidak mungkin maka jangan  sekali-kali berpacaran karena azab yang pedih siap menanti Anda.














Daftar pustaka
Dikutip dari http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html
Sumber : Pusat Konsultasi syariah
http://id.wikipedia.org/wiki/Pacaran




[1] Dikutip dari http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html

[2] Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661

bila orang kafir mengucapkan salam, bagaimana menjawabnya?

Hilman Kusmayadi
1210103018
Tafsir hadits semester 5
Bila Orang Kafir Mengucapkan Salam, Bagaimana Menjawabnya?
Dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak hanya terdiri dari umat muslim, kita terkadang mendapatkan salam dari orang kafir dengan, "Assalam 'alaikum". Saat seperti itulah kita menjadi dilema, antara menjawab atau hanya diam karena dia kafir atau alasan lainnya. Ada sebagian saudara muslim yang diam saja, tidak menjawab. Alasannya tidak diperbolehkan mendoakan kebaikan untuk orang kafir. Ada yang mencukupkan dengan wa'alaikum saja karena meniru jawaban Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam saat menjawab salam orang Yahudi yang disimpangkan, Assamu 'Alaik, (Semoga kematian atasmu). Maka dalam tulisan ini kami berusaha bahas tentang hukum menjawab salam orang kafir? Apa yang harus kita ucapkan apabila ada orang kafir yang mengucapkan salam kepada kita?
Haram Mengawali Salam Terhadap Orang Kafir
Seorang muslim diharamkan mengawali ucapan salam kepada non-muslim, baik dari Ahli Kitab maupun yang lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan Syaikh Ibnu 'Utsaimin, "Memulai salam kepada non-muslim adalah diharamkan dan tidak boleh." Beliau menyandarkannya kepada hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُود وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدهمْ فِي طَرِيق فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقه
"Janganlah kalian awali megucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya." (HR. al- Muslim dari Abu Hurairah)
Larangan memulai salam ini berlaku terhadap Yahudi, Nasrani, maupun penyembah berhala. Karena salam merupakan penghormatan kaum muslimin, penghormatan mereka di dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman,
تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ
"Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: "salam"." (QS. Al-Ahzab: 44)


Menjawab Salam Orang Kafir
Apabila  ada orang kafir mengucapkan salam kepada seorang muslim, misalnya  dengan "Assalamu 'Alaik" (Semoga salam kesejahteraan atasmu). Maka ia boleh menjawabnya, bahkan menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin hukumnya wajib berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)." (QS. Al-Nisa': 86)
Di dalam ayat di atas, tidak disebutkan: Apabila orang-orang muslim memberi penghormatan kepada kalian. Tetapi dengan kalimat yang umum, "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)."
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkannya sebagaimana yang terdapat dalam Shahihain, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
"Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah: wa'alaikum (Dan atas kalian)."
Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu tentang larangan memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani di atas menunjukkan bahwa apabila mereka yang memulai maka kita menjawab salam mereka. Yang dilarang pada hadits tersebut hanya memulai, sedangkan menjawab salam mereka adalah wajib.
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri juga menjawab salam ahli kitab. Dari Aisyah Radhiyallaahu 'Anha berkata, “Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan berkata, ‘Assaam ‘Alaikum’ (semoga kematian atasmu). Lalu Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam memjawabnya, ‘Wa’alaikum’ (dan atas kalian)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila orang kafir mengucapkan salam kepada orang muslim, "Assaam 'Alaikum" (semoga kematian atas kalian), atau Assilaam 'Alaikum (bebatuan atas kalian), atau dengan kalimat salam yang tidak jelas, maka kita menjawabnya dengan, "Wa'alaikum" (dan atas kalian).
Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Ada seorang yahudi melewati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu berkata, "Assaam 'Alaik." Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Wa'alaik". Kemudian beliau bersabda, "Tahukah kalian apa yang ia ucapkan?" Beliau bersabda, "Assaam 'alaik." Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah tidak bolehkah kami membunuhnya?" Beliau menjawab, "Jangan, apabila orang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah, "Wa'alaik". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Dinar Radhiyallahu 'Anhu, ia pernah mendengar Ibnu Umar dan Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Yahudi apabila mereka mengucapkan salam kepada kalian, maka salah seorang mereka akan berkata, "Assaam 'Alaik." Karena itu jawablah (salamnya), "Wa'alaik." (HR. Muslim)
"Para ulama sepakat menjawab salam ahli kitab, apabila mereka mengucapkan salam (salam yang benar)."
Perkataan Imam Nawawi
Namun jika mereka benar-benar mengucapkan salam yang syar'i, "Assalaamu 'Alaikum." Maka dikalangan ulama ada perbedaan pendapat tentang hukumnya menjawabnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya menjawab salam mereka. Maka jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajib dan itu adalah pendapat yang benar. Sebagian ulama berpendapat tidak wajib menjawab salam mereka sebagaimana tidak wajib menjawab salam kepada ahli bid'ah dan itu lebih layak. Namun yang benar adalah pendapat pertama. Perbedaannya, kita diperintahkan meninggalkan ahli bid'ah sebagai ta'zir bagi mereka dan peringatan terhadap bahaya mereka, berbeda dengan ahli dzimmah." (Ahkam Ahli al-Dzimmah: 2/425-426)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Para ulama sepakat menjawab salam ahli kitab, apabila mereka mengucapkan salam (salam yang benar)." (Syarh hadits no. 4024)
Jika salam orang kafir adalah salam yang syar'i maka menjawabnya juga dengan jawaban syar'i pula. Tentang jawaban ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat Pertama, hanya wa'alaikum saja. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, ". . . Tetapi tidak boleh dijawab untuk mereka: wa'alaika salam. Tapi dijawab: 'Alaikum saja, atau wa'alaikum." (Syarh hadits no. 4024)
Pendapat kedua, jika yakin benar bahwa ia mengucapkan salam yang sesunguhnya dan tidak memelintirkannya, yaitu ia mengucapkan: Assalamu 'alaikum, tidak merubah dan memelencengkan perkataannya sehingga nampak jelas ia mengucapkan salam, maka boleh membalasnya dengan salam yang benar dan sebanding. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)." (QS. Al-Nisa': 86)
Dalam ayat tersebut menjawab yang sebanding adalah wajib, sementara membalas yang lebih adalah sunnah. Hanya dalam masalah ini bukanlah wajib karena masalahnya bersifat ijtihadiyah.
Orang yang berpendapat tentang bolehnya menjawab dengan salam yang sempurna karena menilai perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam agar menjawab dengan "wa'alaikum" saja dikarenakan ada sebabnya. Yakni sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'Anha: Mereka mengucapkan assaam dengan menyamarkannya. Karena itu ucapkanlah: wa'alaikum.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ahkam Ahli al-Dzimmah berkata, "Jika orang yang mendengar itu yakin bahwa orang dzimmi mengucapkan kepadanya: "Salamun 'alaikum", ia tidak ragu akan hal itu; apakah ia boleh menjawab Wa'alaikas Salam (semoga keselamatan juga atasmu) atau hanya menjawab wa'alaik (dan semoga atasmu)?
Maka yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar'i dan kaidah-kaidah syar'iyah: ia mengatakan kepadanya Wa'alaikas Salam; dan sungguh ini termasuk balasan yang adil, sedangkan Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan. . . . Hal ini tidak meniadakan sedikitpun dari kandungan hadits-hadits dalam bab tersebut. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk menjawab secara ringkas hanya dengan mengucapkan "Wa'alaikum", karena ada sebab yang telah disebutkan yang biasa mereka ucapkan dalam salam mereka. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha, sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tidakkah engkau tahu aku telah mengatakan, "wa'alaikum" saat mereka mengucapkan, "Assaam 'alaikum". Kemudian beliau bersabda, "Apabila ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah: wa'alaikum." Walaupun yang menjadi I'tibar (patokan,-red) adalah keumuman lafadz, maka yang bisa dijadikan patokan keumumannya adalah kasus yang serupa, bukan yang berseberangan dengannya. . ." (Ahkam Ahlil al-Dzimmah: 1/425-426)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, ". . . dan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: Apabila orang-orang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah," wa'alaikum".  Dan atas dasar ini apabila orang kafir mengucapkan salam kepada kita, maka kita jawab sesuai dengan salamnya. Apabila ia mengucapkan, "Assalamu 'alaikum" dengan lafadz salam yang jelas, maka kita ucapkan: "alaikumus salam". Apabila ia mengucapkan "ahlan wa sahlan", maka kita juga ucapkan, "ahlan wasahlan". Jika ia mengucapkan, "Shabbahakumullah bilk hair", maka kita juga jawab, "Shabbahakumullah bilk hair". Seperti itulah kita menjawab salamnya sebagaimana ia mengucapkan salam kepada kita sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah Allah 'Azza wa Jalla. Akan tetapi perlu diperhatikan oleh seorang muslim untuk bersungguh-sungguh menyeru orang kafir kepada agama Allah 'Azza wa Jalla  semampunya. Dan berapa banyak orang yang sebelumnya kafir atau atheis lalu Allah memberinya petunjuk melalui tangan seseorang yang menjawab salam kepadanya, yakni menyambutnya dengan menjawab salam sehingga membuat dirinya senang dan dadanya lapang sehingga Allah 'Azza wa Jalla  memberikan hidayah kepadanya."


makalah perjanjian hudaibiya

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah puji serta syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan kesempatan untuk menikmati kehiupan ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Perjanjian Hudaibiya”.
Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pemegang mata kuliah Sirah Nabawiyah yang telah memberikan arahan dalam  pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas  mata kuliah Sirah Nabawiyah kemudian dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai  perjanjian hudaibiyah.  Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman sejarah peradaban islam di masa lampau.
Terakhir,  penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Bandung 7 november 2012







BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang masalah
Islam adalah agama yang turun dari langit (samawi) yang disamapaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak islam mulai disebarluaskan oleh Rasulullah, kaum Quraisy sangat membenci Rasulullah karena telah menyebarkan islam dengan sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan. Sejak saat itu Rasulullah selalu diburu dan dikejar oleh kaum Quraisy untuk dibunuh. Sampai-sampai apabila seseorang berhasil membunuh Rasulullah makan akan diberikan hadiah oleh Quraisy.
Kebencian kaum Quraisy terhadap Muhammad berlanjut sampai Nabi Muhammad SAW hendak melaksanakan ibadah haji ke Mekah bersama kaum muslimin setelah enam tahun di Madinah. Seperti kita ketahui, selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula.
Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya dari al-Masjid'l-Aqsha ke al-Masjid'l-Haram. Sekarang kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya. Dan sampai akhirnya diadakan Perjanjian Hudaibiya antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy.
Rumusan masalah
Dalam penjelasan makalah berikut akan membahas dan memecahkan masalah-masalah yang kami rumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana kaum Muslimin bisa masuk ke Mekah ?
2.      Apa saja isi dari perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Setelah enam tahun di Medinah
Enam tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula. Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya dari al-Masjid'l-Aqsha ke al-Masjid'l-Haram. Sekarang kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya.
B.     Muslimin dirintangi ke Mesjid Suci
Sejak ratusan tahun yang lalu, al-Masjid'l-Haram ini (Mesjid Suci) sudah menjadi arah tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Mesjid Suci itu, melarang mereka mendekatinya diluar golongan Arab lainnya. Dalam hal ini firman Tuhan turun pada tahun Hijrah pertama itu:  "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci: bolehkah berperang? Katakanlah: Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepadaNya, merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu, lebih besar lagi dosanya disisi Allah." (Qur'an, 2:217).
Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang: "Dan kenapa Allah tidak akan menyiksa mereka padahal mereka merintangi orang memasuki Mesjid Suci, sedang mereka bukan penanggungjawabnya. Mereka yang bertanggungjawab mengurusnya sebenarnya ialah orang-orang yang bertakwa. Tetapi mereka kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di sekitar Rumah Suci itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan. Oleh karena itu rasakan siksaan yang disebabkan oleh kekafiranmu itu. Orang-orang kafir itu mengeluarkan harta mereka guna melarang orang dari jalan Allah; maka mereka masih akan mengeluarkan harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal, lalu mereka kalah. Dan orang-orang yang kafir itu akan dikumpulkan di dalam neraka" (Qur'an, 8:34-36)
Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Mesjid Suci itu yang oleh Tuhan dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Akan tetapi pihak Quraisy menganggap Muhammad dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari dewa-dewa dalam Rumah Suci itu: Hubal, Isaf, Na'ila dan berhala-berhala yang lain. Oleh karena itu memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban buat Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.
Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu kaum Muhajirin sendiripun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan - tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja mereka itu semua yakin akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan kepada mereka serta mengangkat taraf agama mereka diatas agama lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama lagi pasti akan datang waktunya Tuhan membukakan pintu Mekah kepada mereka, dan mereka akan bertawaf di Rumah Purba (Ka'bah) itu, menunaikan kewajiban agama yang diwajibkan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi tahun yang terjadi hanya peperangan, dari perang Badr ke Uhud, lalu Khandaq, kemudian peperangan-peperangan dan kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang mereka harap-harapkan itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan hari yang diharap-harapkan itu. Tidak kurang pula Muhammad seperti mereka, sangat merindukannya dan yakin sekali, bahwa saatnya sudah dekat!
Dengan melarang mengadakan ziarah ke Mekah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Rumah Purba ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka'bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama lain dengan menyembah berhala tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan bertawaf di Ka'bah serta melakukan segala upacara dan penyembahan berhala. Muhammad datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisma dan syirik. Ia mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu. Ia akan menempatkannya di atas segala kekurangan, akan membawa kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti kesatuan alam serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.
Akan tetapi apabila Muhammad kemudian datang juga disertai orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya, yang sebenarnya mereka ini penduduk asli Mekah, maka orang-orang Quraisy itu kuatir rakyat jelata di Mekah akan menggabungkan diri kepadanya lalu merasa pula bahwa memisahkan mereka dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan kekejaman. Dengan demikian ini akan merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara. Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah tidak pula melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka yang sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa mereka sudah tertanam rasa dendam dan permusuhan; padahal sudah cukup diketahui, bahwa Rumah itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah.
C.     Muslimin mengumumkan naik haji
Telah lampau enam tahun sejak hijrah, kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka'bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut.  Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya memasuki Masjid Suci itu? Dengan perangkah? Ataukah orang-orang Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?
Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Zulhijah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran. Dalam pada itu yang diinginkan sekali oleh Muhammad ialah supaya kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin. Maksud baik daripada ini ialah supaya semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu kewajiban dalam hukum Islam, yang juga diwajibkan dalam agama-agama orang Arab sebelum itu. Untuk itu diajaknya orang-orang Arab yang tidak se-agama itu agar juga melakukan kewajiban tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab akan apa yang sudah menjadi kepercayaan sekalipun berlain-lainan, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras itu mereka hendak membendung orang pergi ke Mesjid Suci, hendak membelokkan orang dari agama Ismail. dan dari agama Ibrahim, leluhur mereka.
D.    Dua perkemahan bertemu
Oleh karena itu pihak Muslimin merasa aman juga kalau orang-orang Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan Ahzab dulu. Agamanya akan lebih terpandang dimata orang-orang Arab yang belum beriman itu. Apa pula yang akan dikatakan Quraisy kepada mereka yang datang ke tanah suci itu, tanpa membawa senjata kecuali pedang yarig disarungkan, didahului oleh binatang kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka tak ada urusan lain daripada hanya akan menunaikan tugas agama dengan bertawaf di Baitullah, yang juga menjadi kewajiban semua masyarakat Arab itu.
Muhammad mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka itu yang masih menunda-nunda. Dalam bulan Zulkaedah sebagai salah satu bulan suci, ia berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri, didahului di depan oleh untanya, Al-Qashwa. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak seribu empatratus orang. Muhammad membawa binatang kurban terdiri dari tujuhpuluh ekor unta[1], dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa ia datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah. Bilamana rombongan sudah sampai di Dzu'l-Hulaifa[2] mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas dalam perang Badr. Tiada seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Umm Salama.
Berita tentang Muhammad dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa kuatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Medinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.  Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera di kerahkan dan pimpinannya di serahkan kepada Khalid bin'l-Walid dan 'Ikrima bin Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa. Sebaliknya Muhammad ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya di 'Usfan[3] ia bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka'b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
"Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini," jawabnya. "Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin'l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kira'l-Ghamim."[4]
"O, kasihan Quraisy!" kata Muhammad. "Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja saya dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakan saya, itulah yang mereka harapkan, dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepada saya, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itupun belum mereka lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Quraisy mengira apa. Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal." Kemudian ia berfikir, apa gerangan yang akan diperbuatnya. Keberangkatannya dari Medinah bukan akan berperang. Ia mau memasuki Tanah Suci hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia hendak menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga kalaupun dia berperang dan dikalahkan, hal ini akan dijadikan kebanggaan oleh Quraisy. Atau barangkali Khalid dan 'Ikrima itu disuruh dengan tujuan sengaja hendak mencapai maksud itu, setelah diketahui bahwa ia berangkat bukan dengan maksud hendak berperang ?
Sementara Muhammad sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy sudah tampak sejauh mata memandang. Tampaknya sudah tak ada jalan lagi buat Muslimin akan dapat mencapai tujuan, kecuali jika mau menerobos barisan itu. Dan jika pun terjadi pertempuran pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diingini oleh Muhammad. Akan tetapi Quraisy hendak memaksanya juga supaya ia bertempur dan supaya melibatkan diri ke dalam peperangan.
E.     Muhammad memelihara perdamaian
Sungguhpun begitu pihak Muslimimpun tidak kurang pula semangat pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup buat mereka menangkis serangan musuh. Tetapi dengan demikian tujuannya jadi hilang, dan akan dipakai alasan oleh Quraisy di kalangan orang-orang Arab yang lain. Pandangannya lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang Jadi, dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya: "Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?" Dengan demikian ia masih berpegang pada pendapatnya hendak menempuh saluran damai yang sudah digariskannya sejak ia berangkat dari Medinah dan berniat hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam pada itu kemudian ada seorang laki-laki yang bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Tetapi akhirnya mereka sampai juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Thaniat'l-Murar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah. Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.
Bila kaum Muslimin sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa' (unta kepunyaan Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata: "Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut." Kemudian dimintanya orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata: "Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air." Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu airpun memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun.
Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah mengadakan persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy, kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing dan Tuhan juga yang akan memutuskan persoalannya jika sudah mesti terjadi?!  Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan pada kemungkinan ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang, untuk selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam kalau begitu, jabatan menjaga Ka'bah dan mengurus air para pengunjung dan segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada masyarakat Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk 'umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran; kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus menghunus pedang.
"Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka; dan satu segi untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail b. Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza'a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang mendorongnya datang. Setelah dalam pembicaraan itu mereka merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, merekapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.
F.      Utusan Quraisy kepada Muhammad
Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui keadaan mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia tidak akan serampangan supaya jangan dituduh pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan Ahabisy[5]. Terpikir oleh Quraisy pemimpin mereka ini yang hendak di utus, kalau-kalau bila sudah diketahui bahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan. Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam. "Duduklah," kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa."
Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.
G.    Perutusan 'Urwa ibn Mas'ud
Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada 'Urwa ibn Mas'ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada 'Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau ini sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk, kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang akan mengalami kecemaran yang cukup parah adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
Ketika itu Abu Bakr berkata kepada 'Urwa dengan membantah keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. 'Urwa mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah kepala Rasul memukul tangan 'Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, 'Urwa pernah menebuskan tigabelas diat atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh Mughira. Sekarang 'Urwa pulang kembali setelah ia mendapat keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Tuhan. "Saudara-saudara," katanya setelah ia berada kembali di tengah-tengah masyarakat Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik."
Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang sudah berpikir sampai ke soal perang. Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah kita apa yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah. Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.
Kemudian Nabi 'alaihissalam sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin'l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy. "Rasulullah," kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu 'Adi b. Ka'b yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. 'Affan."
H.    Usman b'Affan diutus
Nabipun segera memanggil Usman b. 'Affan -menantunya- dan diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa'id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: "Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah, bertawaflah." "Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf," jawab Usman. "Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang korban, setelah disembelih kamipun akan kembali pulang dengan aman."
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka'bah serta menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi juga mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan Muhammad dan hubungan Muhammad dengan mereka.
Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka'bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi 'a.s, sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu katanya: "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka."
I.       Ikrar Ridzwan
Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai'at'r Ridzwan (Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18). Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi 'a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar 'Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.
J.      Perutusan Quraisy kepada Muhammad
Usman kembali. Apa yang di katakan Quraisy disampaikannya kepada Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid bin'l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang sudah terjadi benterokan-benterokan antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh. Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka tidak mau; dari satu segi mereka menghormati kesucian agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu, sebab kuatir bulan-bulan suci itu akan dilanggar lagi. Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian penduduk kota itu.
K.    Perundingan kedua belah pihak
Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua belah pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. 'Amr dengan pesan: "Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan." Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.
Abu Bakr dan Umar
Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin'l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:
Umar: "Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
Abu Bakr: "Ya, memang!"
Umar: "Bukankah kita ini Muslimin?"
Abu Bakr: "Ya, memang!"
Umar: "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?"
Abu Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah."
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah:  "Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."

L.     Perjanjian Hudaibiya (Maret 628)
Selain itu kesabaran Muhammad terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Ia memanggil Ali b. Abi Talib dan katanya: "Tulis: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang)." "Stop!" kata Suhail. "Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah)." Kata Rasulullah pula: "Tulislah: Atas namaMu ya Allah." Lalu sambungnya lagi: "Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail b. 'Amr." "Stop," sela Suhail lagi. "Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapamu."
Lalu kata Rasulullah pula: "Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad b. Abdillah." Dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah pihak itu ditulis, bahwa kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun - menurut pendapat sebagian besar penulis sejarah Nabi - atau dua tahun menurut al-Waqidi - bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan; bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan; bahwa untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.

M.   Perjanjian Hudaibiya mulai berlaku
Begitu perjanjian ini ditanda-tangani, pihak Khuza'a segera bersekutu dengan Muhammad dan Banu Bakr bersekutu pula dengan Quraisy. Selanjutnya begitu perjanjian ini ditandatangani begitu pula Abu Jandal b. Suhail b. 'Amr datang dan terus hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan akan pergi bersama-sama pula. Tetapi Suhail sendiri melihat anaknya demikian dipukulnya mukanya dan direnggutnya ditentang leher untuk kemudian dikembalikan kepada Quraisy. Dalam pada itu Abu Jandal sendiri berteriak sekuat-kuatnya: "Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini?!" Dengan peristiwa itu kaum Muslimin makin gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian yang diadakan antara Rasul dengan Suhail. Tetapi Muhammad lalu mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal:
"Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu jalan keluar. Kita sudah menandatangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita berikan kepada mereka dan merekapun sudah pula memberikan kepada kita, dengan nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka." Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai vlengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail juga lalu berangkat pulang ke Mekah. Muhammad masih tinggal. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya. Kemudian ia sembahyang, dan keadaannya mulai tenang kembali. Ia berdiri, hewan korbannya mulai disembelih. Ia duduk kembali, rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah sudah dimulai. Hatinya sudah merasa tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat ketenangannya pula, merekapun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut kepala - sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memangkas (menggunting) rambut:
"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut," kata Muhammad. Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya: "Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah ?" ,"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang bercukur rambut," katanya lagi. Orang-orang masih gelisah sambil bertanya: "Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?" "Dan mereka yang berpangkas rambut," katanya lagi. "Rasulullah," kata setengah mereka lagi, "kenapa doa buat yang bercukur saja yang dinyatakan, bukan buat yang bergunting rambut?,, "Karena mereka sudah tidak ragu-ragu."
"Tidak ada jalan lain buat Muslimin mereka mesti kembali ke Medinah dengan harapan akan kembali ke Mekah tahun depan. Sebahagian besar mereka itu membawa pikiran demikian ini dengan berat hati. Kalau tidak karena perintah Rasul, mereka takkan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa pertempuran. Karena iman mereka akan pertolongan Allah kepada Rasul dan agama, mereka tidak ragu-ragu lagi akan menyerbu Mekah, kalau saja Muhammad memerintahkan yang demikian itu.
N.    Hudaibiya: suatu kemenangan yang nyata
Mereka tinggal di Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu; ada pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah demikian itu. Akhirnya mereka berangkat pulang. Sementara mereka di tengah perjalanan antara Mekah dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi dengan Surah Al-Fat-h. Firman Tuhan itupun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabat-sahabat: "Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karuniaNya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus." (Qur'an, 48: 1-2) Dan seterusnya sampai pada akhir Surah.
Tidak sangsi lagi kalau begitu bahwa Perjanjian Hudaibiya ini adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya. Sejarahpun mencatat, bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Musliminpun berhak berziarah ke Ka'bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji; suatu pengakuan pula dari mereka, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya gencatan senjata yang selama dua tahun atau sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka jalan buat Islam untuk lebih tersebar lagi. Bukankah orang-orang Quraisy yang merupakan musuh Islam paling gigih dan lawan berperang yang paling keras itu sekarang sudah tunduk, sedang sebelum itu mereka samasekali tidak pernah akan mau tunduk?
Kenyataannya setelah persetujuan perletakan senjata itu Islam memang tersebar luas, berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiya ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah sepuluh ribu orang. Mereka yang masih menyangsikan hikmah perjanjian Hudaibiya ini, yang sangat keberatan ialah adanya sebuah klausul dalam perjanjian itu yang menyebutkan, bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan kepada Muhammad. Tanggapan Muhammad dalam hal ini ialah apabila ada orang yang murtad dari Islam dan minta perlindungan Quraisy, orang semacam ini tidak perlu lagi kembali kepada jamaah Muslimin, dan siapa-siapa yang masuk Islam dan berusaha menggabungkan diri dengan Muhammad mudah-mudahan Tuhan akan membukakan jalan keluar.
O.    Cerita Abu Bashir
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad bahkan lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Juga ini menunjukkan, bahwa dengan persetujuan Hudaibiya itu Islam telah memperoleh keuntungan besar yang luarbiasa, dan dua bulan kemudian sesudah itu telah pula membukakan jalan buat Muhammad memulai mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kepala-kepala negara asing mengajak mereka masuk Islam. Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Abu Bashir[6] telah datang dari Mekah ke Medinah sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan isi persetujuan ia mesti dikembalikan kepada Quraisy sebab ia pergi tidak seijin tuannya. Untuk itu maka Azhar b. 'Auf dan Akhnas b. Syariq berkirim surat kepada Nabi supaya orang itu dikembalikan. Surat-surat itu dibawa oleh seorang laki-laki dari Banu 'Amir yang datang bersama seorang budak.
"Abu Bashir," kata Nabi, "Kita telah membuat perjanjian dengan pihak mereka, seperti sudah kauketahui. Suatu pengkhianatan menurut agama kita tidak dibenarkan. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu kelapangan dan jalan keluar. Berangkat sajalah engkau kembali kedalam lingkungan masyarakatmu." "Rasulullah," kata Abu Bashir, "Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini." Lalu Nabi mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang itu pun berangkat. Sesampainya di Dhu'l-Hulaifa dimintanya kepada kawan seperjalanannya dari Banu 'Amir itu supaya memperlihatkan pedangnya Setelah digenggamnya erat-erat pedang itu ditangannya, diayunkannya kepada orang dari Banu 'Amir itu dan dibunuhnya orang itu. Sekarang sang budak lari ke jurusan Medinah, langsung menemui Nabi. "Orang ini tampaknya dalam ketakutan," kata Nabi setelah melihat orang itu. Lalu katanya kepada orang tersebut, "He! Ada apa?" "Teman tuan membunuh teman saya," kata orang itu. Tidak lama kemudian Abu Bashir muncul dengan membawa pedang terhunus dan berkata dengan menujukan kata-katanya kepada Muhammad. "Rasulullah," katanya. "Jaminan tuan sudah terpenuhi, dan Tuhan sudah melaksanakan buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya itu saya tetap bertahan, supaya jangan saya dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama saya itu."
Sebenarnya Rasul tidak dapat menyembunyikan kekagumannya dan harapannya sekiranya dia punya anak buah. Sesudah itu Abu Bashir berangkat juga. Ia berhenti di Al-Ish, di pantai laut sepanjang jalur Quraisy ke Syam. Dalam perjanjian Muhammad dengan Quraisy ialah membiarkan jalan ini sebagai lalu-lintas perdagangan, yang tidak boleh diganggu olehnya atau oleh Quraisy. Tetapi setelah Abu Bashir pergi ke daerah itu dan hal ini didengar oleh umat Muslimin yang tinggal di Mekah serta tentang kekaguman Rasul kepadanya, sebanyak kira-kira tujuhpuluh laki-laki dari mereka ini lari pula menemuinya dan menggabungkan diri di tempat tersebut, lalu dijadikannya dia sebagai pemimpin mereka. Sekarang mereka bersama-sama mencegat Quraisy dalam perjalanan itu. Setiap orang yang berhasil mereka tangkap, mereka bunuh dan setiap ada kafilah dagang tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy menyadari bahwa hal ini merupakan suatu kerugian besar buat mereka, apabila kaum Muslimin itu masih tetap tinggal di Mekah. Mereka memperhitungkan, bahwa usaha mengurung orang yang benar-benar teguh imannya, lebih berbahaya daripada membebaskannya. Tentu ia akan mencari kesempatan lari. Ia akan melancarkan perang yang tak berkesudahan terhadap mereka yang mengurungnya, dan mereka juga yang akan rugi. Seolah teringat oleh Quraisy ketika Muhammad hijrah ke Medinah. Ia mencegat perjalanan kafilah mereka. Perbuatan semacam itu mereka kuatirkan akan diulangi oleh Abu Bashir.
Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi. Dimintanya supaya ia mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas itu kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak dari apa yang secara gigih disyaratkan oleh Suhail b. 'Amr bahwa Muslimin Quraisy yang pergi menyeberang kepada Muhammad tidak seijin walinya harus di kembalikan ke Mekah. Dengan sendirinya syarat itu jadi gugur, yang dulu pernah membuat Umar bin'l-Khattab jadi gusar karenanya dan yang telah menyebabkan dia jadi marah-marah kepada Abu Bakr. Selanjutnya Mulmammad telah menampung sahabat-sahabatnya itu dan jalan ke Syam itu pun kembali jadi aman.
P.      Wanita-wanita Muslihat yang hijrah
Terhadap wanita-wanita Quraisy yang turut hijrah ke Medinah, Muhammad mempunyai pendapat lain lagi. Setelah ada persetujuan gencatan senjata itu Umm Kulthum bt. 'Uqba b. Mu'ait keluar dari Mekah. Saudaranya, 'Umara dan Walid, yang kemudian menyusul, menuntut kepada Rasulullah supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiya. Akan tetapi Nabi menolak. Ia berpendapat, bahwa menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk dalam persetujuan itu. Apabila ada wanita yang minta perlindungan, maka harus dilindungi. Disamping itu, bilamana wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya yang masih musyrik sudah tidak sah lagi. Mereka harus berpisah. Dalam hal inilah firman Tuhan datang:
"Orang-orang yang beriman. Apabila wanita-wanita yang beriman itu, datang hijrah kepada kamu hendaklah mereka itu kamu uji. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Bila kamu juga sudah mengetahui, bahwa mereka memang wanita-wanita yang beriman, jangan hendaknya mereka dikembalikan kepada orang-orang yang kafir. Mereka tidak halal buat (menjadi isteri) orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itupun tidak halal buat (menjadi suami) mereka. Dan bayarkanlah kepada (suami-suami) mereka apa yang sudah mereka nafkahkan. Tiada salahnya kamu menikah dengan mereka itu kalau sudah kamu bayarkan maharnya. Dan janganlah kamu bertahan pada perkawinan wanita-wanita kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, begitupun biarlah mereka juga minta apa yang telah mereka nafkahkan. Demikian itulah Dia memberikan keputusan antara sesama kamu. Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana." (Qur'an, 60: 10)


Q.    Apa yang dilakukan Muhammad
Sekali lagi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi itu membuktikan kebenaran kebijaksanaan Muhammad. Membenarkan pandangannya yang jauh serta politiknya yang, tepat sekali. Selanjutnya membuktikan pula, bahwa ketika ia membuat Perjanjian Hudaibiya itu ia telah meletakkan dasar yang kukuh sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam. Dan inilah kemenangan yang nyata itu. Dengan adanya Pelianjian Hudaibiya ini segala hubungan antara Quraisy dengan Muhammad telah menjadi tenang sekali. Masing-masing pihak sudah merasa aman pula. Sekarang Quralsy semua mencurahkan perhatiannya pada perluasan perdagangannya, dengan harapan kalau-kalau semua kerugian yang dialaminya selama perang antara Muslimin dengan Quraisy itu dapat ditarik kembali; demikian juga ketika jalan ke Syam itu tertutup perdagangannya terancam akan mengalami kehancuran. Sebaliknya Muhammad, ia mencurahkan perhatiannya pada soal kelanjutan menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat manusia di segenap pelosok dunia. Pandangannya diarahkan dalam langkah mencapai sukses untuk ketenteraman umat Muslimin di seluruh jazirah. Bidang itulah yang dilakukannya dengan mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja pada beberapa negara, disamping mengosongkan orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab, yang semuanya itu selesai samasekali sesudah perang Khaibar.














BAB III
PENUTUP
Setelah beberapa lama akhirnya kaum Muslimin berhasil memasuki Mekah. Di Mekah kaum Muslimin melaksanakan ibadah haji. Kaum Muslimin masuk tanpa membawa peralatan perang. Kaum Muslimin berhasil masuk ke Mekah karena terbentuknya perjanjian Hudaibiya. Kaum Muslimin dan kaum Quraisy telah setuju dengan perjanjian Hudaibiya. Setalah terbentuknya perjanjian ini banyak orang-orang yang berbondong-bondong masuk islam karena islam telah diakui oleh kaum Quraisy bahwa islam adalah salah satu agama yang boleh mengunjungi Ka’bah di Mekah.
Isi perjanjian Hudaibiya “Bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan; bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan; bahwa untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.












DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1997.




[1] Asalnya badana atau badn, yaitu unta atau sapi yang di sembelih (A)
[2] Sebuah desa enam atau tujuh mil jauhnya dari Medinah, tempat pertemuan penduduk Medinah yang akan pergi haji.
[3] Usfan, sebuah desa terletak antara Mekah dan Medinah, sekitar 60 km dari Mekah.
[4] Kira'l-Ghamim sebuah wadi di depan 'Usfan, sekitar 8 mil (± 12 km).
[5] Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan (sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah). Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam sekali, atau karena sifatnya yang mengelompok, atau juga di hubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir Mekah (lihat juga halaman 311).
[6] Nama lengkapnya Abu Bashir 'Utba b. Usaid (atau b. Asid seperti dalam As-Sirat'n-Nabawiya oleh Ibn Hisyam, jilid tiga, p. 337) dari Thaqif, karena keyakinan agamanya telah dipenjarakan oleh Quraisy di Mekah. Kemudian ia melarikan diri menyusul Nabi ke Medinah (A).