Selasa, 18 Oktober 2011

pengenalan sosiologi


PengenalanSosiologi
Secaraetimologis, istilahsosiologiberasaldaridua kata, yaitusocius(latin) yang berartitemanataukawandanlogos (yunani) yang berartiilmu. Jadi, sosiologiadalahsuatuilmupengetahuan yang mempelajarihubunganantarakawandankawan.Para ahlimendefinisikansociusdenganpergalulanhidup.Olehkarenaitu, sosiologijugaberartiilmupengetahuantentangpergaulanhidupmanusia, yaituhubunganantaraseseorangdengan orang lain, hubunganseseorangdengangolongan, danhubungangolongandengangolongan lain.  
Dalamkosakatabahasa Indonesia, pergaulanhidupsesamamanusiadisebutmasyarakat.Sehinggasosiologiseringdisebutilmukemasyarakatan.Dengandemikian, sosiologijugadisebutilmupengetahuan yang mempelajaritentangkehidupanmasyarakat.
Sosiologipertama kali dipopulerkanolehfilsufPerancis yang bernamaAuguste Comte (1798-1857), dalambukunyacourse de philosophie positive.IadisebutBapakSosiologikarenadiaadalah orang yang pertama kali yang memakaiistilahsosiologidanmengkajisosiologisecarasistematis, sehinggailmutersebutmelepaskandiridarifilsafatdanberdirisendirisejakpertenganhanabad ke-19.
Secaraumumsosiologiadalahilmu yang mempelajaritentangkehidupanmasyarakat, sepertihalnyaAntropologidanilmu-ilmu social lainnya.Sejalandenganperkembangansosiologi, paraahlimemberikanbeberapadefinisidengansudutpandangnyamsaing-masing.
Ø  MenurutMax Weber,Sosiologiadalahilmuynagmempelajaritindakansosial. Tidaksemuatindakanmanusiadapatdianggaptindakan social.Suatutindakanhanyadapatdisebuttindakansosialapabilatindakantersebutdilakukandenganmempertimbangkanperilaku orang lain dandanberorientasipadaperilaku orang lain.
Ø  MenurutHerbert Spencerdalambukunya yang berjudulPrinciples Of Society, Sosiologiadalahpenyelidikantentangsusunandan proses-proses kehidupansosialsebagaisuatukeseluruhan. Spencer membagiobjeksosiologimenjadidua, yaitu;
a.       Social staties, yaitususunan yang bersifatstatis.
b.      Social dynamic, yaitu proses-proses yang bersifatdinamis.
Ø  MenurutKingsley Davis, Sosiologiadalahsuatupelajarankhususditujukankepadacara-caramasyarakatmencapaikesatuannya, perkembangannyadanperubahannya.
Ø  MenurutJohn Levis Gillin and John Philip Gillin, Sosiologiadalahilmu yang mempelajariinteraksi yang timbuldalamkehidupanmanusia.
Ø  MenurutRoucek and Warren, Sosiologiadalahilmu yang mempelajarihubunganantaramanusiadengankelompok-kelompok.
Ø  MenurutJ.A.A van Doorn en C.J. Lammers, Sosiologiadalahilmupengetahuantentangstruktur-strukturdan proses-proses kemasyarakatan yang bersifatstabil.
Ø  MenurutKoentjaraningrat, Sosiologiadalahkesatuankehidupanmanusiayang berinteraksimenurutsuatu system adatistiadattertentu yang bersifatkontinyudanterikatolehsuatu rasa identitasbersama.
Ø  MenurutSeloSoemardjandanSoelemanSoemardi, Sosiologiadalahilmu yang mempelajari proses sosialdanstruktur social, termasukperubahan-perubahansosial.

pengenalan sosiologi


PengenalanSosiologi
Secaraetimologis, istilahsosiologiberasaldaridua kata, yaitusocius(latin) yang berartitemanataukawandanlogos (yunani) yang berartiilmu. Jadi, sosiologiadalahsuatuilmupengetahuan yang mempelajarihubunganantarakawandankawan.Para ahlimendefinisikansociusdenganpergalulanhidup.Olehkarenaitu, sosiologijugaberartiilmupengetahuantentangpergaulanhidupmanusia, yaituhubunganantaraseseorangdengan orang lain, hubunganseseorangdengangolongan, danhubungangolongandengangolongan lain.  
Dalamkosakatabahasa Indonesia, pergaulanhidupsesamamanusiadisebutmasyarakat.Sehinggasosiologiseringdisebutilmukemasyarakatan.Dengandemikian, sosiologijugadisebutilmupengetahuan yang mempelajaritentangkehidupanmasyarakat.
Sosiologipertama kali dipopulerkanolehfilsufPerancis yang bernamaAuguste Comte (1798-1857), dalambukunyacourse de philosophie positive.IadisebutBapakSosiologikarenadiaadalah orang yang pertama kali yang memakaiistilahsosiologidanmengkajisosiologisecarasistematis, sehinggailmutersebutmelepaskandiridarifilsafatdanberdirisendirisejakpertenganhanabad ke-19.
Secaraumumsosiologiadalahilmu yang mempelajaritentangkehidupanmasyarakat, sepertihalnyaAntropologidanilmu-ilmu social lainnya.Sejalandenganperkembangansosiologi, paraahlimemberikanbeberapadefinisidengansudutpandangnyamsaing-masing.
Ø  MenurutMax Weber,Sosiologiadalahilmuynagmempelajaritindakansosial. Tidaksemuatindakanmanusiadapatdianggaptindakan social.Suatutindakanhanyadapatdisebuttindakansosialapabilatindakantersebutdilakukandenganmempertimbangkanperilaku orang lain dandanberorientasipadaperilaku orang lain.
Ø  MenurutHerbert Spencerdalambukunya yang berjudulPrinciples Of Society, Sosiologiadalahpenyelidikantentangsusunandan proses-proses kehidupansosialsebagaisuatukeseluruhan. Spencer membagiobjeksosiologimenjadidua, yaitu;
a.       Social staties, yaitususunan yang bersifatstatis.
b.      Social dynamic, yaitu proses-proses yang bersifatdinamis.
Ø  MenurutKingsley Davis, Sosiologiadalahsuatupelajarankhususditujukankepadacara-caramasyarakatmencapaikesatuannya, perkembangannyadanperubahannya.
Ø  MenurutJohn Levis Gillin and John Philip Gillin, Sosiologiadalahilmu yang mempelajariinteraksi yang timbuldalamkehidupanmanusia.
Ø  MenurutRoucek and Warren, Sosiologiadalahilmu yang mempelajarihubunganantaramanusiadengankelompok-kelompok.
Ø  MenurutJ.A.A van Doorn en C.J. Lammers, Sosiologiadalahilmupengetahuantentangstruktur-strukturdan proses-proses kemasyarakatan yang bersifatstabil.
Ø  MenurutKoentjaraningrat, Sosiologiadalahkesatuankehidupanmanusiayang berinteraksimenurutsuatu system adatistiadattertentu yang bersifatkontinyudanterikatolehsuatu rasa identitasbersama.
Ø  MenurutSeloSoemardjandanSoelemanSoemardi, Sosiologiadalahilmu yang mempelajari proses sosialdanstruktur social, termasukperubahan-perubahansosial.

syarat menafsirkan


BAB II ISI


2.1 Syarat-Syarat Menafsirkan Al Qur'an
Dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-qur’an secara baik dan komprehensif, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorqang mufasir, baik yang menyangkut kepribadian (personality), kemampuan akademis maupun kemampuan teknik operasional penafsiran[5]. Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir Al-qur’an (mufasir), antara lain:

1.  Sehat Aqidah
        Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
         Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2.   Mampu mengendalikan hawa nafsu
          Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
           Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3.   Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
           Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
           Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
          Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4.   Menafsirkan Al-Quran dengan al-hadits
          Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
       Tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5.   Merujuk kepada perkataan shahabat
         Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
         Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
        Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Mufasir yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6.   Merujuk kepada perkataan tabi'in
         Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
         Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7.   Menguasai bahasa arab, ilmu dan cabang-cabangnya
        Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.
        Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.
         Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.
         Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
         Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8.   Menguasai cabang-cabang ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir
        Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang Mubayyan, dan seterusnya.
        Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.          
        Alim ulama berkata, "Dalam menafsirkan Al-Qur'an diperlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu".
1.            Lughat (fitologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
2.            Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
3.            Sharaf (perubahan bentuk kata)
4.            Isytiqaq (akar kata)
5.            Ma'ani (susunan)
6.            Bayaan
7.            Badi'
8.            Qira'at
9.            Aqa'id
10.        Ushul Fiqih
11.        Asbabun Nuzul. Asbabun nuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
12.        Nasikh Mansukh
13.        Fiqih
14.        Hadits
15.        Wahbi

9.   Pemahaman yang Mendalam
         Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.
        Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.[6]

Berikut ini juga merupakan sumber mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang dalam menafsirkan Al-qur’an dari buku “Ilmu-ilmu Al-Quran” karya Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy mencatatkan, bahwa “ilmu-ilmu yang wajib dimiliki  oleh seorang mufassir”, ialah :
1.      Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf dan ilmu-ilmu balaghah.
2.      Ilmu Ushul Fiqh.
3.      Ilmu Tauhid.
4.      Ilmu Asbabu An-Nuzul dan Qiyas.
5.      Ilmu Nasikh wa Mansukh.
6.      Hadits-hadits yang menerangkan maksud lafal-lafal mujmal dan mubham.
7.      Ilmu Al-Mauhibah (ilmu yang diwariskan Allah kepada seseorang mengamalkan ilmunya dan bersih hatinya dari takabbur dan hubbun duniawi). Ungkapan persyaratan di atas adalah sebuah kenyataan dalam studi ilmu, dan berhadapan pula dengan kenyataan kondisi sosial manusia. Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy mencatatkan bahwa “‘Ulum Al-Quran” itu lahir ± abad ke-5 Hijriah dengan tersusunnya paket buku “Al-Burhan Fi- ‘Ulumi Al-Quran” karya terbesar dari Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id yang wafat pada 430 Hijriah sebanyak 30 jilid.

      Dan berdasarkan perkataan salah satu sahabat Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Jika kita ingin memperoleh ilmu, pikirkanlah dan renungkanlah makna-makna Al-Qur'an, karena di dalamnya terkandung ilmu-ilmu orang-orang terdahulu dan sekarang. Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adabnya terlebih dahulu".  Jangan seperti pada zaman kita sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang bebrapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekarang melihat terjemahan Al-Qur'an, seseorang berani berpendapat mengenai Al-Qur'an.[7]

2.2 Macam-Macam Syarat Penafsiran   
Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran[8]. Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.

a.      Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu  dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.

b.      Syarat Kedua: Aspek Kepribadian 
       Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk.”    
        Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala,
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
Sedangkan dalam segi bentuknya Syarat-syarat menafsirkan yang harus dimiliki oleh seorang mufasir terdapat 2 jenis yaitu syarat mutlak dan syarat relatif.
Berikut adalah syarat-syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang mufasir diantaranya:
1.  Sehat Aqidah
2. Mampu mengendalikan hawa nafsu
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
4. Menafsirkan Al-Quran dengan al-hadits
5. Merujuk kepada perkataan shahabat
6. Merujuk kepada perkataan tabi'in
7. Menguasai bahasa arab, ilmu dan cabang-cabangnya
8. Menguasai cabang-cabang ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir

Dan berikut adalah syarat-syarat relatif bagi seorang mufasir yaitu syarat-syarat yang mendukung syarat mutlak:
  1. Seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar-dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih. Menurut Rasyid Ridha, Al-qur’an hanya dapat dipahami oleh orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membacanya, baik di dalam maupun diluar salat. Selain itu, harus disertai pula ketakwaan kepada Allah karena Al-qur’an merupakan petunjuk bagi orang bertakwa
  2. Seorang mufasir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Hal ini penting agar benar-benar dapat dipahami makna-makna dan hukum-hukum ayat, hakiki dan mazajinya, mubham mujmalnya, am dan khasnya, mutlaq dan muqayyadnya dan lain-lain.
  3. Seorang mufasir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan Al-qur’an. Sebagai dijelaskan Manna Al- Qathan, bahwa penafsiran Al-qur’an dalam penafsiran Al-qur’an diperlukan langkah-langkah sistematis agar menghasilkan penafsiran secara baik dan benar. Penafsiran itu, selanjutnya bisa dimulai dengan mengetengahkan asbab nuzul ayat, arti kosa kata, menerangkan susunan kalimat, menerangkan aspek-aspek balaghahnya, I’rabnya dan sebagainya dalam penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna-makna generik dan spesifik dan mengaitkannya dengan situasi dan kondisi umum yang tengah dihadapi umat saat itu. Langkah berikutnya, menarik kesimpulan hukum yang terkandung dalam makna-maknanya.
  4. Seorang mufasir harus mengetahui pokok-pokok ulum Qur’an, seperti ilmu qira’at, ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh mansukh, ilmu muhkam dan mutasyabihnya, dan sebagainya. Disamping itu, sorang mufasir perlu mengetahui ilmu kalam (teologi) ushul fiqh dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu ini daapt dijelaskan arti dan maksud-maksud ayatAl-qur’andengan baik dan benar.
  5.  Seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an hendaknya mengambil referensi (rujukan) dari tafsir-tafsir yang mu’tabar (Qualified) untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya. Dengan ini, diharapkan dalam penafsiran Al-qur’an penuh ketelitian untuk menghasilkan produk tafsir yang komperehensif[9].


[5] Drs. Supiana M.Ag, M. Karman M. Ag, Ulumul Quran, pustaka Islam. Hal 275-276
[6] Maulana Muhammad Zakariya, Al Kandahlawi Rah. A., Himpunan Fadhilah Amal, hal 19, Penerbit Ash-Shaff. Yogyakarta.

[7] Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy . “Ilmu-ilmu Al-Quran”, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, ed. 1972, hlm. 229
[8] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.

[9] Drs. Supiana M.Ag, M. Karman M. Ag, Ulumul Quran, pustaka Islam. Hal275-276