Sabtu, 17 Maret 2012

makalah perang salib


BAB I PENDAHULUAN
Perang Salib berlangsung selama 2 abad, antara abad ke-11 dan ke-13, yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Sejak tahun 632 melakukan ekspansi, bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sicilia. Disebut Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan-tangan orang Islam.
Pertama, disebut periode penaklukan (1096-1144) jalinan kerjasama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitan semangat umat Kristen, yang utama ketika pidato Paus Urbanus II pada Konsiliclerment tanggal 26 November 1095. Pidato ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Dan pada periode ini kemenangan berpihak kepada pasukan Salib dan telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu.
Kedua, disebut periode reaksi umat Islam (1144-1192) jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi pasukan Salib yang dikomando oleh Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, yang setelah itu diganti dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota-kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib, antara lain: Damaskus, Antiokia, dan Mesir. Keberhasilan kaum Muslimin meraih banyak kemenangan terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Dan pada bulan Shafar 589/Februari 1193 Salahuddin al-Ayyubi wafat yang sebelumnya telah menyepakati suatu perjanjian dengan kaum Salib. Intinya adalah perjanjian damai yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanaNnya. Dan apa yang terjadi setelah itu?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor penyebab terjadinya Perang Salib dan bagaimana peran Salahuddin al-Ayyubi dalam menghadapi pasukan Salib serta bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Perang Salib tersebut.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perang Salib
Perang Salib berasal dari Bahasa Arab, yaitu حـر كـة  yang berarti suatu gerakan  atau   barisan, dan صـلـيـبـيـة     yang berarti kayu palang, tanda silang (dua batang kayu yang bersilang). [1] Jadi Perang Salib adalah suatu gerakan (dalam bentuk barisan) dengan memakai tanda salib untuk menghancurkan umat Islam.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Perang Salib ialah gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi umat Islam di Palestina secara berulang-ulang, mulai dari abad XI sampai abad XIII M. untuk membebaskan  Bait al-Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud menyebarkan agama  dengan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dikatakan salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka.[2] Terhadap pengertian ini, diperkuat lagi oleh Philip K. Hitti  bahwa Perang Salib itu adalah perang keagamaan  selama hampir dua abad yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Perang ini terjadi karena sejak tahun 632 M. (Nabi saw. wafat)  sampai meletusnya Perang Salib, sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki umat Islam seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Perang tersebut merupakan suatu ekspedisi militer dan terorganisir untuk merebut kembali tempat suci di Palestina.[3]
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dipahami bahwa Perang Salib  adalah perang yang dilakukan oleh ummat Kristen Eropa dengan mengerahkan umatnya secara terorganisir yang bersifat militer, dan menurut mereka, Perang Salib ini merupakan perang suci untuk merebut kembali Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam.
B. Faktor-faktor  Terjadinya Perang Salib
Perang Salib sesungguhnya merupakan reaksi bangsa Barat terhadap kekuasaan Islam. Kedudukan Islam di semenanjung Iberia, serangan dan pendudukan Islam atas Sisilia maupun serangan atas semenanjung Balkan dan lebih-lebih lagi pendudukan daerah Timur Tengah oleh bangsa Turki yang akhirnya mengakibatkan terganggunya perjalanan para peziarah ke Yerussalem, sehingga kaum Salib ingin merebut kota suci tersebut. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Salib, dan di antara faktor-faktor penyebabnya, [4]antara  lain :
1.     Faktor Agama
Salah satu peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan Alp Arselan (Penguasa Saljuk) adalah peristiwa Manzikart pada tahun 1071 M. (464 H.). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Bizantium (Kristen) yang berjumlah 200.000 orang, yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia.
Kekalahan ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian menjadi benih dari Perang Salib.
Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H. dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah di sana dan aturan tersebut sangat menyulitkan mereka, akhirnya menghilangkan kemerdekaan umat Kristen untuk beribadah di Yerussalem.[5] Pada abad pertengahan, gereja mempunyai peranan dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat di Eropa. Pihak gereja menyatakan bahwa siapa saja yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh gereja, maka akan mendapat hukuman.
Pada hal masyarakat pada waktu itu banyak yang berbuat kesalahan dan mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh gereja. Untuk mensucikan diri dan bertobat dari kesalahan tersebut, manusia harus banyak berbuat baik dan berbakti menurut ajaran agama (Kristen), dengan berziarah ke Bait al-Maqdis di Yerussalem, berpuasa dan mengerjakan kebaikan lainnya. Mereka yakin bahwa apabila berziarah ke tanah suci saja mendapat pahala yang besar dan dapat menebus dosa, maka sudah tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Islam, adalah jauh lebih besar pahalanya.[6]
2. Faktor Politik
Kekalahan Bizantium di Manzikart (Armenia) pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia Kecil di bawah kekuasaan Saljuk, telah mendorong Kaisar Alexius Comnenus I (Kaisar Costantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II  (menjadi Paus dari 1088-1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya dari pendudukan Dinasti Saljuk.
Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma, serta dengan harapan  dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu, Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar terhadap  raja-raja yang berada di bawah kekuasaannya.[7] Demikian pula, adanya cita-cita Paus yang bersifat agresif untuk menguasai dunia Timur dengan berencana mendirikan suatu kerajaan Latin. Hal ini pulalah yang menyulut peperangan antara Kristen dan Islam, yang secara periodik dan historis menggunakan waktu yang lama serta pengorbanan material dan jiwa yang cukup banyak.
3. Faktor Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada  di kota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan perdagangan mereka. Untuk itu, mereka rela menanggung sebagian dana peperangan dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan, apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambung dengan jalur perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut. Demikian pula para petualang dari ksatria Kristen, merasa puas dengan harta rampasan atau upeti dari negeri taklukan.
Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu : Kaum gereja, bangsawan dan ksatria, serta rakyat jelata.[8]
Mayoritas  masyarakat di Eropa adalah rakyat jelata, kehidupan mereka sangat tertindas, terhina, dan harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena serta mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, pihak gereja memobilisasi mereka untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik, apabila dapat memenangkan peperangan. Mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan bersama-sama melibatkan diri dalan perang tersebut.
C. Peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam Menghadapi Pasukan Salib
Mengingat judul yang diangkat dalam pembahasan ini adalah Perang Salib (faktor dan peranan Salahuddin al-Ayyubi), maka dalam mamkalah ini akan dibatasi pada periode kedua dan ketiga dari Perang Salib, sampai wafatnya pada tahun 1193 M.
Salahuddin al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa dengan nama Saladin, ia juga bergelar Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti Ayyubiyyah di Mesir yang bertahan selama 80 tahun. Salahuddin berasal dari keluarga  Kurdi di Azerbaijan, yang berimigrasi ke Irak. Salahuddin al-Ayyubi merupakan pahlawan paling mengagumkan, yang pernah dipersembahkan oleh peradaban Islam di sepanjang abad VI dan VII Hijriah. Berkat Salahuddin, umat dan peradaban Islam terselamatkan dari kehancuran, akibat serangan dari kaum Salib.[9] Pada periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib, Bait al-Maqdis kembali direbut oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zanqi, Gubernur Mosul (Halab), kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib.
Pasukan Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M. Sebelum pasukannya merebut kembali daerah-daerah Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam pertempuran pada tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanqi. Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan wilayah Islam di Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskannya, antara lain: Damaskus (1147), Antiokia (1149),  Edessa (1151), dan Mesir pada tahun 1169 M.
Kejatuhan Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis, Louis VII dan Raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.
Salahudddin al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya, pasukan Salib tidak mampu menghadapi pasukan Islam, maka mereka terpaksa mengajukan permintaan damai. Dengan adanya permintaan damai itu, Salahuddin menghentikan peperangan. Namun karena tahun 1186 M. tentara Salib mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan menunaikan haji, maka pertempuran kembali berkobar dan tentara Salib menderita kekalahan serta kebanyakan di antara mereka menjadi tawanan. Akhirnya Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.[10]
Pada periode ketiga (1189-1192 M.), Salahuddin berhasil mempertahankan Bait al-Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya berawal dari jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan orang Islam, menggerakkan semangat  yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali kota suci itu.
Dengan kekalahan itu, maka  dibangunlah angkatan Perang Salib III  pada tahun 1189 M. dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari Jerman, Philip Augustus dari Perancis dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan Perang Salib III ini berhasil merebut Accon (Aka), namun sesudah itu pasukan Salib pecah, karena Philip berselisih dengan Richard, yang berakhir dengan pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar Barbarosa telah meninggal di tengah perjalanan.[11]
Setelah itu, Salahuddin berperangan melawan Richard yang dikenal sebagai panglima yang tindakannya sangat berani sehingga diberi gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam peperangan di Arsuf, Salahuddin berhasil dikalahkan Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis  belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November   1192 M., yang isinya sebagai berikut :
  1. Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah di tanah suci.
  2. Orang-orang Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
  3. Umat Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada umat Kristen.[12]
Setahun berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Salah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M., setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.

D. Periodesasi Perang Salib
Para sejarawan saling berbeda pendapat dalam menetapkan periodisasi perang salib. Ahmad Shalabi> dalam bukunya al-hada>rah al-isla>miyyah membagi periodisasi perang salib menjadi tujuh periode. Sementara itu Philip K. Hitti memandang perang salib berlangsung terus menerus dengan kelompok bervariasi. Meskipun demikian Hitti berusaha membuat periodisasi perang salib dengan menyederhanakan pembagiannya dalam tiga periode. Oleh karena itu penulis disini lebih cenderung pada pendapat Hitti yang membagi periodisasi perang salib menjadi tiga periode.
I. Perang Salib I (1096-1144 M)
Perang salib atau The Crusades atau al-Hurub al Salibiyah merupakan peperangan yang dilakukan oleh orang Kristen dari bagian barat Eropa kepada orang Islam di wilayah Asia Barat (timur tengah) antara tahun 488-690H atau 1095-1291M.Peperangan ini diberi nama"Perang Salib"karena tentara-tentara Kristen memakai salib di leher atau menulis salib di dada atau memakai selendang merah di bahu dengan gambar salib.
Sejarah peperangan antara orang Islam dengan non-muslim sudah dimulai sejak zaman nabi Muhammad S.A.W antara lain perang Mu'tah dan perang Tabuk, setelah itu diikuti dengan penaklukan Byzantine termasuk Shiria dan Mesir pada zaman Khalifah Umar. Dalam ekspedisi penaklukan ini tentara Islam berhasil menguasai Baitul Maqdis di Palestina, Hal ini membuat orang Kristen marah karena merupakan tanah suci bagi kaum Kristiani.
Pihak Atabeg Seljuk telah menghalangi orang Kristiani menziarahi tanah suci Baitul Maqdis dengan cara mengenakan cukai yang tinggi bagi orang yang melalui wilayah –wilayah sebelum sampai ke Baitul Maqdis. Kemarahan orang Kristen semakin memuncak dengan adanya penghancuran gereja suci oleh kerajaan Fatimiyyah pada tahun 1009 M, dimana gereja tersebut dibangun di atas makam nabi Isa as. Oleh karena motif-motif agama, ekonomi dan juga politik. inilah yang menyebabkan terjadinya perang salib.


Seorang pendeta bernama Peters Amiens dilantik oleh Paus Urban II sebagai propagandis bagi menaikkan semangat orang Kristen di Eropa. Disamping itu Kaisar Alexius Comnenus di Constantinopel juga menyeru seluruh raja di Eropa agar memerangi orang – orang Islam, dengan cara ini kerajaan Byzantine (Romawi Timur) dapat diselamatkan dari tangan tentara Seljuk Islam.
Pada tahun 1095M, atas seruan atau khotbah Paus Urban II telah diadakan pertemuan besar-besaran di Clermont (Perancis Selatan) yang dihadiri tokoh-tokoh agama Kristen dan pembesar-pembesar negeri untuk merancang serangan kepada orang islam. Dalam seruannya Paus Urban II menyerukan bahwa setiap orang yang ikut dalam perang akan dilindungi segala harta bendanya oleh pihak gereja dengan demikian kaum keluarganya yang ditinggal akan dilindungi oleh gereja juga, segala dosa dan peluang walau sebesar apapun akan diampuni dan mereka yang berkorban akan dimasukkan ke dalam surga, sehingga ramailah yang mendaftarkan diri untuk pergi berperang baik tua maupun muda.
Sedangkan pada masa itu pemerintahan kerajaan Seljuk dalam keadaan berpecah belah, keadan ini sudah tentu memudahkan kerja tentara salib untuk menghancurkan orang Islam. Bagi pihak kerajaan Fatimiyyah di Mesir merasa gembira dengan serangan-serangan tentara salib ke Shiria karena dengan serangan itu akan berakhir kuasa Seljuk di wilayah itu dan selanjutnya Seljuk yang akan memerintahnya.
Sebelum perang salib terjadi, tentara Norman yang memerintah di selatan Italia telah berhasil menaklukkan pemerintahan Islam di pulau Sicilia pada tahun 1091M. Dengan berhasil menaklukkan pemerintahan Islam di pulau Sicilia kepada tangan Kristen telah memberi perangsang yang kuat kepada mereka untuk meneruskan perluasan daerah jajahan.
Pada tahun 1096M telah berkumpul di ibukota Constantinopel sebanyak 25.000 orang tentara dibawah pimpinan Godfrey of Buillon dan beberapa yang lain diantaranya Baldwin I, Count Raymond, Bohemond, Graaf Toulouse, Tancred, Robert Hertog dan lain-lain.
Pada awal Agustus 1096M tentara salib menyerang selat Bosporus menghadapi tentara Suljuk dalam serangan pertama gagal, akan tetapi mereka berhasil dalam serangan kedua untuk menaklukkan kawasan-kawasan seperti Armenia, Roha, Nicia, Antakiyah (Antioch), Alippo (Halab), dan kawasan-kawasan di hulu sungai al-Furat.
Kawasan-kawasan itu telah dikuasai dengan mudah oleh tentara salib karena pihak Seljuk tidak mendapatkan bantuan dari kerajaan pusat Baghdad. Tentara salib telah melakukan keganasan dengan membunuh orang Islam tanpa belas kasihan, seperti tentara Norman atas orang Islam Sicilia.
Pada tahun 1099 M Godfrey dengan mudahnya memasuki kota Baitul Maqdis tanpa mendapat tantangan serius dari tentara Islam, dan tentara Godfrey mendapatkan bantuan 12 kapal perang Italia, pada tahun itu juga beberapa kota lain telah jatuh ke tangan mereka di bawah pimpinan Count Raymond Godfrey kemudian dilantik menjadi raja di Baitul Maqdis, kemudian digantikan oleh Baldwin I, sedangkan Count Raymond dilantik sebagai pemimpin di Antakiyah. Baldwin I memerintahkan Count Raymond untuk menaklukkan Tripoli dapat ditaklukkan. Dengan demikian hampir seluruh wilayah Shiria, Palestina, dan kawasan-kawasan sekitarnya jatuh ke tangan tentara Kristen. Kemenangan pasukan salib dalam periode ini telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu.
II. Perang Salib II (1144-1192 M)
Hampir setengah abad dari tahun 492-542H/1099-1147M Baitul Maqdis diduduki oleh tentara salib , pada masa itu orang Islam hidup menderita di bawah pemerintahan orang Kristen. Kekuatan orang Islam muncul dengan kelahiran seorang tokoh bernama Imad al-Din Zanki seorang politikus yang menjadi gubernur Mawsil, utara Iraq sejak tahun 1127 M. Pada tahun 1144 M Zanki telah berhasil menaklukkan Edessa dan beberapa kawasan di wilayah Shiria dari tangan orang Kristen. Kemudian pada tahun 1146 M Zanki mati dibunuh oleh seorang hambanya, daerah kekuasaannya dibagikan kepada dua orang anaknya yakni: Saif al-Din al-Ghazi dan Nur al-Din Muhammad, Saif al-Din memerintah di Mesopotamia (jazirah), sementara Nur al-Din memerintah di Shiria.
Nur al-Din sebagai pemimpin Islam patuh pada ajaran agama, dan mempunyai semangat jihad yan tinggi untuk membebaskan bumi Palestina dari kekuasaan tentara Kristen. Nur al-din telah Berjaya membebaskan semua wilayah Edessa setelah terjatuh kepada tangan tentara salib beberapa tahun setelah kematian Zanki. Penawanan Edessa oleh orang Islam tersebutlah yang membuat kemarahan orang Kristen dan mereka kemudian bergabung dengan St Bernard of Clairvaux dibawah pimpinan Pope Eugene III.
Pada tahun 1146 M raja Louis VII dari Perancis dan Hohenstaufen Conard II turut memberi dukungan moral kepada tentara salib. Dalam perjalanan ke Hongaria banyak tentara Kristen yang menderita sakit dan hanya sebagian kecil yang dapat meneruskan perjalanan ke Baitul Maqdis dan disana mereka merancang untuk menyerang Damsyik dimana ketika itu Damsyik dipimpin oleh Mu’in al-Din Anar, seorang keturunan Mamluk wakil kerajaan Buriyah pimpinan Mujr al-Din keturunan Atabeq Seljuk. Pada saat menyerang Damsyik tentara Salib terjadi perpecahan antara sesama mereka, sehingga kesempatan ini digunakan oleh Mu'in al-Din untuk menggempur tentara Salib.
Sedangkan pihak Count Raymond yang memerintah di Tripoli,Shiria telah diancam oleh Count Bertrand of Toulose yang memerintah kawasan Arimah. Raymond meminta bantuan Nur al-Din dan Mu'in al-Din, kesempatan ini diambil untuk menyerang tentara salib. Dalam serangan ini tentara Islam Berjaya menawan Arimah dan menangkap Raymond dan dibawa ke Aleppo.
Pada tahun 564H/ 1169 M., khalifah al-'Adi>d, khalifah kerajaan Fatimiyyah yang terakhir, meminta bantuan Shirkhuh mempertahankan negeri Mesir dari serangan tentara Salib, dalam peperangan ini Shirkuh mencapai kejayaan cemerlang dan seterusnya beliau dilantik menjadi wazir kerajaan Fatimiyyah untuk menggantikan Shawar hanya dua bulan beliau wafat dan digantikan oleh Salahuddin Al-ayyubi.
Pada periode kedua peperangan dimenangkan oleh umat Islam yang dipimpin oleh Salahuddin al-Ayyubi. Beberapa wilayah yang pernah dikuasai tentara Salib dapat direbut kembali. Sehingga perjanjian shulh al-ramlah pada 1192 M. antara kedua belah pihak terjadi, dengan kesepakatan bahwa orang Kristen yang berziaroh ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Periode Salahuddin al-Ayyubi : Perang Salib terbesar
Nama lengkap Salahuddin Yusuf Bin Amir Najm al-Din Ayyub yang bergelar al-Malik al-Nashr. Salahuddin memiliki kemampuan dan energy yang luar biasa, hal ini ditunjukkan dalam kapasitas organisasi dan leadership-nya. Beliau dilantik menjadi wazir kerajaan Fatimiyyah untuk menggantikan Shirkuh dan pada masa itu pula dilantik dengan menjadi panglima tentara Shiria oleh Nur al-Din dan bergelar Saladin.

Salahuddin dilahirkan di Trakit pada tahun 532H/1138M dari keturunan suku Kurdi,pernah menjadi Gubernur Ba'labaek pada zaman Zanki. S{ala>huddi>n telah terlibat dalam peperangan di kawasan Mesir, Palestina dan Shiria, dan telah menyatukan umat Arab dan Islam serta mengukuhkan mereka yang tidak pernah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya untuk menghadapi perang salib.
Salahuddin mulai terkenal pada tahun 559H/ 1164 pada saat beliau mengikuti perjalanan bersama Shirkuh dibawah Nur al-Din dari Shiria untuk menentang tentara salib. Dalam perjalanan ini tentara Salah}uddin berkubu di JIzah sementara tentara salib pimpinan Amaury I berkubu di Fustat dalam peperangan ini Salahuddin Berjaya menewaskan Amaury I.
Dari jizah, Kaherah, Salahuddin meneruskan ke Iskandariyah bersama Shirkuh dan Iskandariyah ditaklukkan,bersamaan itu Syirkuh melanjutkan ke selatan Mesir dan memerintahkan Salahuddin untuk menjaga Iskandariyah. Sepeninggalan Shirkuh tentara salib menyerang Iskandariyah, namun sebelumnya telah diadakan perjanjian antara orang Islam dan Kristen pada bulan Syawal 562H/Agustus1167M, perjanjian ini diminta pihak Kristen karena mereka takut diserang oleh tentara Nur al-Din dari Shiria.
Pada bulan Muharram 564H/ Nopember1168 M tentara salib melanggar perjanjian dengan menyerang Bilbays dan banyak penduduk dibunuh, sehingga membuat kemarahan dan mempersiapkan serangan balik oleh wazir Mesir bernama Shawar dengan meminta bantuan Nur al-Din tentara salib pimpiunan Amaury mundur pada 1 Rabiulakhir 564H/ 2 Januari 1169M pada saat itu pula Shawar mencoba untuk membunuh Shirkuh hal ini dapat diketahui oleh Salahuddin dan akhirnya menyerang dan membunuh Shawar.
Setelah kematian Shawar pada 17 Rabiulakhir 564 H/18 Januari 1169 M. Khalifah al-Adid melantik Shirkuh menjadi wazir dan selanjutnya digantikan oleh Salah}uddin dan dilantik pula menjadi panglima angkatan tentara Shiria, sejak itu nama Salah}uddin menjadi masyhur. Pihak orang Kristen Mesir menyadari bahaya kenaikan Salahuddin menjadi panglima perang, kemudian meminta bantuan dari Eropa seperti Perancis, Jerman, Inggris, dan Italia dan bergabung dengan tentara Byzantine untuk menyerang Mesir. Bagi pihak Mesir Salahuddin mendapat bantuan dari Nur al-Din di Shiria. Pada peperangan ini tentara salib pimpinan Amaury terpaksa menarik diri dan membuat perjanjian damai dengan membayar uang upeti kepada Salahuddin.
Pada tahun 1172 M Salahuddin menyerang pelabuahan Aylan di pantai laut merah untuk merintis jalan ke Palestina dan setelah itu Nur-al Din meminta bantuan Salahuddin untuk menyerang kubu pertahanan tentara salib di kerak dan shawbak yang terletak di timur Yordania, hal ini tidak dapat dilakukan karena Salah}uddin harus menyelesaikan pemberontakan di Mesir.
Pada tahun 569 H./1174 M., Nur al-Din meninggal dunia dan tempatnya digantikan oleh anaknya bernama Ismail Malik al-Salih. Karena usianya masih 11 tahun, kekuasaan dipegang oleh penasehat-penasehatnya. Mereka ini kurang yakin terhadap Salahuddin lalu mencari jalan untuk mendapatkan pertolongan dari tentara salib. Akan tetapi Salahuddin dengan cepat menyerang Shiria dan berhasil melawan Hims. Pada akhir tahun 1174 M., Aleppo menyerah kalah. Oleh karena itu Ismail terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan Salahuddin. Ia kemudian diberi gelar "Sultan" oleh Khalifah Abbasiyah di Baghdad.
Pada akhir tahun 569 H./1174 M., Salahuddin juga menghadapi serangan Norman dari Sicilia di perairan Iskandariyah selama 3 hari. Tentara Norman akhirnya mundur dan pada saat itu pula raja Amaury I di Baitul Maqdis meninggal dunia dan tempatnya diganti oleh Baldwin IV. Dengan demikian maka kedudukan Salahuddin menjadi semakin kokoh dan meyakinkan
Pada bulan Zul-Qa'dah 570 H./Mei 1175 M., Khalifah Abbasiyah mengukuhkan Salahuddin sebagai pemimpin (sultan) Mesir, Nubiah, Yaman, Magribi, Palestina, dan kawasan tengah Shiria, Salahuddin bergelar Sultan al-Islam wa al-Muslim.
Pada tahun 577 H./1181 M., Isma'il al-Malik al-Salih yang memerintah Haleb meninggal dunia. Pada bulan Safar 579 H./Juni 1183 M., seluruh negeri Shiria termasuk Haleb berada di bawah kekuasaan Salahuddin yang dikenal sebagai Saladin di Barat. Peperangan antara tentara Islam dengan tentara Salib terus berlangsung. Pemerintahan Baitul Maqdis ketika itu dibawah pimpinan Guy De Lusignan yang telah menggantikan Baldwin IV. Perjanjian damai yang ditandatangani antara orang Islam dengan orang Kristen selama 2 tahun itu sering dinodai akibat tindakan Raynald of Chatillon yang menjegal perjalanan perniagaan antara Damshik dan Hijaz dan antara Hijaz dengan Mesir, juga mengganggu keselamatan orang-orang haji yang hendak pergi malalui Hijaz. Salahuddin mengumpulkan bala tentara di Tasik Gennesareth (Galilee). Sedangkan pihak Kristen juga mengumpulkan bala tentaranya. Akhirnya terjadi pertempuran di Hittin. Dalam peperangan itu, tentara Islam mencapai kemenangan besar dan banyak tentara salib yang ditawan.
Kota Akka, tempat Salahuddin tinggal dikepung selama dua tahun (27 Agustus 1187 – 12 Juli 1191). Kelebihan pasukan Franka terletak pada pasukannya yang segar dan artileri perang terbaru, sedangkan kelebihan pasukan muslim adalah karena mereka di bawah satu komando. Shalah meminta bantuan kepada khalifah, meski bantuan yang diharapkan tidak pernah datang, akhirnya pasukan muslim menyerah. Di kedua belah pihak sama-sama memiliki tawanan masing-masing. Meski Richard telah membunuh 2700 tawanan muslim, Shalah tidak melakukan hal yang sama. Akhirnya kedua pihak sepakat membebaskan sisa tawanan yang ada dan mengadakan perundingan perdamaian.
Kota Akka telah menggantikan kedudukan Yerussalem dalam kepemimpinan perang, dan negosiasi perdamaian yang berlangsung tanpa gangguan antara kedua kelompok yang bertikai. Richard yang sarat dengan ide-ide romantik, mengajukan saudara perempuannya untuk menikah dengan saudara Shalah al-Malik al-Adil, dan keduanya patut menerima Yerussalem sebagai hadiah pernikahan. Peristiwa ini mengakhiri perselisihan antara Kristen dengan Muslim. Hari minggu sebelum Paskah (29 Mei 1192), Shalah membaiat al-Adil, anak al-Malik al-Kamil, sebagai bangsawan dalam sebuah upacara yang meriah. Akhirnya, perdamaian ditetapkan di atas kertas pada 2 Nopember 1192, dengan ketentuan bahwa daerah pantai menjadi milik bangsa latin sedangkan daerah pedalaman menjadi milik umat Islam, dan peziarah yang datang ke kota Suci tidak boleh diganggu. Tahun berikutnya 19 Pebruari 1193 Shalah sakit demam di Damaskus dan pada tanggal 2 Maret 1193 Shalah meninggal dalam usia 55 tahun. Pusaranya yang berdekatan dengan masjid Umayyah, hingga kini masih menjadi daya tarik bagi ibukota Suriah.
III. Perang Salib III (1193-1291 M)
Periode ini merupakan periode dinasti Ayyubiyah. Yang telah dibangun oleh S}alan al-Ayyubi dari Tigris sampai ke Nil telah dibagikan kepada para ahli warisnya. Sayangnya tidak ada satupun di antara mereka yang mewarisi kepandaiannya.
Al-Shalih sebagai penguasa terakhir dinasti Ayyubiyah menerima kabar bahwa kota Dimyat terancam lagi, kali ini oleh Louis IX. Kota itu akhirnya menyerah pada 6 Juni 1249 tanpa perlawanan yang berarti. Tetapi ketika tentara Perancis bergerak maju ke Kairo, kemudian ke dataran tinggi sungai Nil-keduanya dipisahkan oleh kanal-wabah menyebar dalam jumlah yang besar, komunikasipun terputus, dan seluruh pasukan itu dihancurkan pada April 1250.
            Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah munculnya pahlawan wanita yang terkenal gagah berani yaitu Shajar al-dur yang juga merupakan keluarga dari dinasti Ayyubiyah. Ia juga berhasil menghancurkan Raja Louis IX dari Perancis dan sekaligus menangkap Raja dan pasukannya tersebut. Bukan hanya itu, sejarah mencatat bahwa pahlawan wanita gagah perkasa ini telah mampu menunjukkan sikap kebesaran Islam dengan membebaskan dan mengizinkan Raja Louis IX kembali ke negerinya Perancis.
E. Dampak Perang Salib
1. Terhadap Dunia Kristen
Walaupun pihak Kristen menderita kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka memperoleh pelajaran yang berharga dari dunia Islam. Hal ini disebabkan perkenalan mereka dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah maju, bahkan hal tersebut menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya renaissance di Barat. Mereka mendapatkan kebudayaan dalam bidang perdagangan, perindustrian, pertanian, pertahanan, pendidikan dan lain-lain.
            Kontak perdagangan antara Timur dan barat semakin pesat di mana kota-kota dagang seperti Venezia, Genoa dan Pisa di Italia berkembang pesat dan memperoleh banyak keuntungan dalam perdagangannya dengan Timur. Hal ini pula yang  menyebabkan mereka menggunakan mata uang sebagai alat tukar barang, sebelumnya mereka menggunakan sistem barter.[13]
Dalam bidang perindustrian, mereka banyak menemukan kain tenun sekaligus peralatannya di dunia Timur. Untuk itu mereka mengimpor berbagai jenis kain ke Barat. Mereka juga menemukan berbagai jenis parfum, kemenyan dan getah Arab yang dapat mengharumkan ruangan.[14]
Dalam bidang pertanian, mereka menemukan sistem irigasi yang praktis. Orang-orang Barat mulai menggunakan cengkeh, lada serta rempah-rempah untuk digunakan sebagai bumbu masakan. Mereka mulai membiasakan makan jahe dan menggunakan madu sebagai pemanis makanan.[15]  Dalam bidang pertahanan (militer), mereka menemukan  tehnik berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di negerinya, seperti penggunaan rebana dan gendang untuk memberi semangat kepada pasukan militer di medan perang, pertarungan senjata dengan menggunakan kuda dan penggunaan burung merpati untuk kepentingan informasi militer.[16]
Bangsa Barat  (Eropa) mulai sadar terhadap kemajuan yang dicapai dunia Timur, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga mereka berdatangan ke Timur untuk belajar dan menggali ilmu, kemudian diajarkan di negara mereka. Orang Eropa banyak memanfaatkan ilmu pengetahuan dari bangsa Arab. Mereka menyalin ke dalam bahasanya (Yunani). Upaya tersebut dilanjutkan dengan mendirikan Universitas di Paris untuk mempelajari bahasa Timur pada abad XII M. Begitu pula, mendorong mereka dalam memajukan Ilmu Bumi.[17] Di sisi lain, hasil dari Perang Salib bagi orang Barat  adalah  menemuan kompas. Orang-orang Islamlah yang sudah sejak lama menggunakan kompas untuk keperluan pelayaran di Teluk Persia dalam rangka kegitan perdagangan. Demikian pula, ilmu Astronomi yang telah dikembangkan Islam sejak abad kesembilan M., telah pula mempengaruhi lahirnya berbagai Observatorium di Barat.[18]


2. Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam
Pengaruh Perang Salib terhadap Islam, adalah lebih memantapkan dan mengokohkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat  dalam membela dan mempertahankan eksistensi agama Islam. Pengaruhnya yang lain adalah memperkenalkan dunia Islam yang mempunyai kebudayaaan tinggi kepada dunia Barat.
Dari keterangan di atas, dapat diutarakan bahwa pengaruh langsung atas terjadinya Perang Salib atas dunia Islam adalah mengingatkan kepada umatnya untuk tetap bersatu padu, menyatukan langkah dan gerak yang dijiwai oleh ruh Islam, untuk tetap konsisten terhadap ajaran Islam yang universal.
Dengan adanya peristiwa tersebut, mengingatkan kepada umat Islam untuk tetap mewaspadai segala gerak, tindakan dalam berbagai bentuk yang akan mengadu domba dan menghancurkan ukhuwah islamiyah, dengan melihat ke belakang, membuka lembaran sejarah serta mengambil pelajaran dari Perang Salib. Dunia, khususnya Barat harus berterima kasih dan mengakui  bahwa sumbangan Islam  tidak ternilai harganya, terutama kontribusinya dalam bidang intelektual dan kultural.








BAB III  K E S I M P U L A N
Perang Salib ialah perang yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa untuk merebut dan menguasai Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam.  Dinamakan Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda Salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka. Perang ini berlangsung dari tahun 1095- 1291 M.
Adapun penyebab terjadinya Perang Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw.  di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh pasukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel (Bizantium) dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.
Disamping itu ada pula faktor atau motif yang melatar belakanginya, yaitu : faktor agama, politik, dan sosial.
Salahuddin al-Ayyubi mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M. Ia terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Ia berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Namun dalam peperangannya melawan Richard di Arsuf, Salahuddin dapat dikalahkan oleh Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis  belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November   1192 M.
Adapun dampak Perang Salib adalah adanya kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Meskipun pihak Kristen Eropa menderita kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka mendapat hikmah yang tak ternilai harganya sebab mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Dan walaupun umat Islam berhasil mempertahankan wilayah-wilayahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang dipikul terlalu banyak untuk dihitung. Karena peperangan berlangsung dari dalam wilayah sendiri.
DAFTAR  PUSTAKA
Ali,Ameer. The Spirit of  Islam. Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul Api Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 370.
Ali,K. A Study of Islamic History. Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern. Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Agama RI. Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. Ujung Pandang: Kerja sama Dirjen Binbaga dengan IAIN Alauddin, 1982.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jilid IV. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasiaonal. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Cet. I; Jakarta; Cipta Adi Pustaka, 1990.
Enan, M.A.  Decisive Moment in the History of Islam. Dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam. Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Hamka.  Sejarah Umat Islam. Jilid II. Cet. IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 787. Lihat juga Muhammad Idris Abd, al-Rauf al-Marbawiy, Kamus al-Marbawiy, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabiy wa Awladuh, t. th.), h. 131.

[2] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid IV (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 240.

[3] Lihat Philip K. Hitti, The Arabs A Short. diterjemahkan oleh Usuluddin Hutagalung dengan judul Sejarah Ringkas Dunia Arab (Cet. II; Bandung: Vorkink Van Hoeve, t. th.), h. 224. Lihat juga  A. Latief Oesman, Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Wijaya, t. th.), h. 83.

[4] Yang dimaksudkan ialah sebab-sebab terjadinya atau motifasi yang melatar belakangi terjadinya Perang Salib yang pertama. Adapun penyebab terjadinya Perang Salib untuk setiap periodenya adalah kelanjutan dari peperangan yang terjadi sebelumnya, mengingat ada pihak yang kalah dalam perang tersebut. Ringkasnya, bahwa sebab terjadinya  Perang Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw. di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh paukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.

[5] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 76.

[6] Lihat M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa (Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), h. 4.

[7] Lihat Ahmad  Syalabiy, Mawsu’at al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharat al-Islamiyyah, Jilid II (Cet. III; Al-Qahirah: Al-Nahdat al-Misriyyah, 1977), h. 554.

[8] Lihat M.A. Enan,  Decisive Moment in the History of Islam, dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya, Bina Ilmu, 1983), h. 143.

[9] Lihat Abdul Halim Uwais, Dirasat lisuquti Tsalatsiyna Dawlat Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islamiyyah (Cet. II; Solo: Pustaka Mantiq, 1992), h. 98.

[10] Lihat Badri Yatim, op. cit., h. 38.

[11] Lihat Hamka,  Sejarah Umat Islam, Jilid II, (Cet. IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975),      h. 216.

[12] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 287.

[13] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasiaonal, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cet. I; Jakarta; Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 349.

[14] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 243

[15] Lihat Yahya Harun, op. cit. h. 34.

[16] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 242.
[17] Lihat Ameer Ali, The Spirit of  Islam. Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul “Api Islam”, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 370.

[18] Lihat K. Ali, A Study of Islamic History. Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul “Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern”, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 288.