KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji serta syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
kesempatan untuk menikmati kehiupan ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah dengan judul “Perjanjian Hudaibiya”.
Tidak
lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada dosen pemegang mata kuliah Sirah Nabawiyah yang
telah memberikan arahan dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Sirah Nabawiyah kemudian dipresentasikan dalam pembelajaran
di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perjanjian hudaibiyah. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh
semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman sejarah
peradaban islam di masa lampau.
Terakhir, penulis sampaikan terima kasih atas
perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak
ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang
lain dan pada waktu mendatang.
Bandung 7 november 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang masalah
Islam adalah agama yang turun dari langit (samawi) yang
disamapaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak islam mulai disebarluaskan oleh
Rasulullah, kaum Quraisy sangat membenci Rasulullah karena telah menyebarkan
islam dengan sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan. Sejak saat itu
Rasulullah selalu diburu dan dikejar oleh kaum Quraisy untuk dibunuh.
Sampai-sampai apabila seseorang berhasil membunuh Rasulullah makan akan
diberikan hadiah oleh Quraisy.
Kebencian kaum
Quraisy terhadap Muhammad berlanjut sampai Nabi Muhammad SAW hendak
melaksanakan ibadah haji ke Mekah bersama kaum muslimin setelah enam tahun di
Madinah. Seperti
kita ketahui, selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus
dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula
dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin tersebar luas, makin kuat dan
ampuh pula.
Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah
mengubah kiblatnya dari al-Masjid'l-Aqsha ke al-Masjid'l-Haram. Sekarang kaum
Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang
kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu
itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding bangunan
itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga waktu itu,
bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya. Dan sampai akhirnya diadakan
Perjanjian Hudaibiya antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy.
Rumusan masalah
Dalam penjelasan makalah berikut akan membahas dan memecahkan masalah-masalah yang kami rumuskan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana kaum
Muslimin bisa masuk ke Mekah ?
2.
Apa saja isi
dari perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Setelah enam
tahun di Medinah
Enam tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah
dari Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu mereka terus-menerus
bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak
Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin
tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula. Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad
sudah mengubah kiblatnya dari al-Masjid'l-Aqsha ke al-Masjid'l-Haram. Sekarang
kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan
yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia.
Waktu itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding
bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga
waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya.
B.
Muslimin
dirintangi ke Mesjid Suci
Sejak ratusan tahun yang lalu, al-Masjid'l-Haram ini (Mesjid Suci)
sudah menjadi arah tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam
bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang
datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling
keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan
pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah,
pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki
Mesjid Suci itu, melarang mereka mendekatinya diluar golongan Arab lainnya.
Dalam hal ini firman Tuhan turun pada tahun Hijrah pertama itu: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
suci: bolehkah berperang? Katakanlah: Berperang dalam bulan itu suatu dosa
besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepadaNya,
merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar
tempat itu, lebih besar lagi dosanya disisi Allah." (Qur'an, 2:217).
Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang: "Dan
kenapa Allah tidak akan menyiksa mereka padahal mereka merintangi orang
memasuki Mesjid Suci, sedang mereka bukan penanggungjawabnya. Mereka yang
bertanggungjawab mengurusnya sebenarnya ialah orang-orang yang bertakwa. Tetapi
mereka kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di sekitar Rumah Suci
itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan. Oleh karena itu rasakan
siksaan yang disebabkan oleh kekafiranmu itu. Orang-orang kafir itu
mengeluarkan harta mereka guna melarang orang dari jalan Allah; maka mereka
masih akan mengeluarkan harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal, lalu mereka
kalah. Dan orang-orang yang kafir itu akan dikumpulkan di dalam neraka"
(Qur'an, 8:34-36)
Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut
mengenai Mesjid Suci itu yang oleh Tuhan dijadikan tempat manusia berkumpul dan
tempat yang aman. Akan tetapi pihak Quraisy menganggap Muhammad dan pengikut-pengikutnya
telah mengingkari dewa-dewa dalam Rumah Suci itu: Hubal, Isaf, Na'ila dan
berhala-berhala yang lain. Oleh karena itu memerangi dan melarang mereka datang
berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban buat Quraisy, kalau mereka tidak mau
kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.
Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat
melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi
kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu kaum Muhajirin sendiripun
sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan - tersiksa dalam pembuangan, tertekan
karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja mereka itu semua yakin
akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan kepada mereka serta mengangkat
taraf agama mereka diatas agama lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama
lagi pasti akan datang waktunya Tuhan membukakan pintu Mekah kepada mereka, dan
mereka akan bertawaf di Rumah Purba (Ka'bah) itu, menunaikan kewajiban agama
yang diwajibkan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi
tahun yang terjadi hanya peperangan, dari perang Badr ke Uhud, lalu Khandaq,
kemudian peperangan-peperangan dan kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang
mereka harap-harapkan itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan hari
yang diharap-harapkan itu. Tidak kurang pula Muhammad seperti mereka, sangat
merindukannya dan yakin sekali, bahwa saatnya sudah dekat!
Dengan melarang mengadakan ziarah ke Mekah serta menunaikan
kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah
melakukan kekejaman terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Rumah Purba ini
bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja
orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka'bah dan mengurus air buat para
pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan
pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama
lain dengan menyembah berhala tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy
melarang orang berziarah dan bertawaf di Ka'bah serta melakukan segala upacara
dan penyembahan berhala. Muhammad datang mengajak orang menjauhi penyembahan
berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisma dan syirik. Ia
mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada
Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu. Ia akan menempatkannya di atas segala
kekurangan, akan membawa kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti
kesatuan alam serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah haji dan
umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut
agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.
Akan tetapi apabila Muhammad kemudian datang juga disertai
orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya, yang
sebenarnya mereka ini penduduk asli Mekah, maka orang-orang Quraisy itu kuatir
rakyat jelata di Mekah akan menggabungkan diri kepadanya lalu merasa pula bahwa
memisahkan mereka dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan kekejaman. Dengan
demikian ini akan merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.
Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah tidak pula
melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka,
merintangi jalan mereka yang sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa
mereka sudah tertanam rasa dendam dan permusuhan; padahal sudah cukup
diketahui, bahwa Rumah itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat
Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang
yang sedang berziarah.
C.
Muslimin
mengumumkan naik haji
Telah lampau enam tahun sejak hijrah, kaum Muslimin sudah gelisah
sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka'bah dan ingin menunaikan ibadah haji
dan umrah. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba
Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi
hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman
tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut. Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi
Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita
ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya
memasuki Masjid Suci itu? Dengan perangkah? Ataukah orang-orang Quraisy secara
paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah
membukakan jalan?
Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad
mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan
Zulhijah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan
dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi
berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran. Dalam pada itu yang
diinginkan sekali oleh Muhammad ialah supaya kaum Muslimin dapat berangkat
sebanyak mungkin. Maksud baik daripada ini ialah supaya semua orang Arab
mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah
haji, bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu kewajiban dalam
hukum Islam, yang juga diwajibkan dalam agama-agama orang Arab sebelum itu.
Untuk itu diajaknya orang-orang Arab yang tidak se-agama itu agar juga
melakukan kewajiban tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih juga
bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab
akan apa yang sudah menjadi kepercayaan sekalipun berlain-lainan, maka takkan
ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka
melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras itu mereka hendak membendung orang
pergi ke Mesjid Suci, hendak membelokkan orang dari agama Ismail. dan dari
agama Ibrahim, leluhur mereka.
D.
Dua perkemahan
bertemu
Oleh karena itu pihak Muslimin merasa aman juga kalau orang-orang
Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan Ahzab dulu. Agamanya akan
lebih terpandang dimata orang-orang Arab yang belum beriman itu. Apa pula yang
akan dikatakan Quraisy kepada mereka yang datang ke tanah suci itu, tanpa
membawa senjata kecuali pedang yarig disarungkan, didahului oleh binatang
kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka tak ada urusan lain daripada
hanya akan menunaikan tugas agama dengan bertawaf di Baitullah, yang juga
menjadi kewajiban semua masyarakat Arab itu.
Muhammad mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan
ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat
bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka itu yang masih menunda-nunda.
Dalam bulan Zulkaedah sebagai salah satu bulan suci, ia berangkat dengan
rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau
menggabungkan diri, didahului di depan oleh untanya, Al-Qashwa. Jumlah mereka
yang berangkat ketika itu sebanyak seribu empatratus orang. Muhammad membawa
binatang kurban terdiri dari tujuhpuluh ekor unta,
dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa
ia datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan
mengagungkan Baitullah. Bilamana rombongan sudah sampai di Dzu'l-Hulaifa
mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu
dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di
antaranya terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas dalam perang Badr. Tiada
seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang
tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi yang ikut serta
dalam perjalanan ini ialah Umm Salama.
Berita tentang Muhammad dan rombongannya serta tujuan kepergiannya
hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi
dalam hati mereka timbul rasa kuatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya.
Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan
begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan
golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Medinah. Apa yang
mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan
Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya
mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang
sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab, tidak akan dapat mengubah keputusan
Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan
yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu. Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang
barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera di kerahkan
dan pimpinannya di serahkan kepada Khalid bin'l-Walid dan 'Ikrima bin Abi Jahl.
Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota
(Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa. Sebaliknya
Muhammad ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya di 'Usfan ia
bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka'b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang
itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
"Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini,"
jawabnya. "Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau.
Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali
tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin'l-Walid dengan pasukan berkudanya
sudah maju terus ke Kira'l-Ghamim."
"O, kasihan Quraisy!" kata Muhammad. "Mereka sudah
lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja saya dengan
orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakan saya,
itulah yang mereka harapkan, dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepada saya,
mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itupun belum mereka
lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Quraisy
mengira apa. Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan
Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher
ini putus terpenggal." Kemudian ia berfikir, apa gerangan yang akan
diperbuatnya. Keberangkatannya dari Medinah bukan akan berperang. Ia mau
memasuki Tanah Suci hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia hendak menunaikan
kewajiban kepada Tuhan. Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga
kalaupun dia berperang dan dikalahkan, hal ini akan dijadikan kebanggaan oleh
Quraisy. Atau barangkali Khalid dan 'Ikrima itu disuruh dengan tujuan sengaja
hendak mencapai maksud itu, setelah diketahui bahwa ia berangkat bukan dengan
maksud hendak berperang ?
Sementara Muhammad sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy sudah
tampak sejauh mata memandang. Tampaknya sudah tak ada jalan lagi buat Muslimin
akan dapat mencapai tujuan, kecuali jika mau menerobos barisan itu. Dan jika
pun terjadi pertempuran pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah
airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diingini oleh Muhammad. Akan tetapi
Quraisy hendak memaksanya juga supaya ia bertempur dan supaya melibatkan diri
ke dalam peperangan.
E.
Muhammad
memelihara perdamaian
Sungguhpun begitu pihak Muslimimpun tidak kurang pula semangat
pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup buat mereka
menangkis serangan musuh. Tetapi dengan demikian tujuannya jadi hilang, dan
akan dipakai alasan oleh Quraisy di kalangan orang-orang Arab yang lain.
Pandangannya lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang Jadi,
dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya: "Siapa yang dapat
membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?" Dengan
demikian ia masih berpegang pada pendapatnya hendak menempuh saluran damai yang
sudah digariskannya sejak ia berangkat dari Medinah dan berniat hendak pergi menunaikan
ibadah haji ke Mekah. Dalam pada itu kemudian ada seorang laki-laki yang
bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara
batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa
sangat letih menempuh jalan itu. Tetapi akhirnya mereka sampai juga ke sebuah
jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang
akhirnya keluar di Thaniat'l-Murar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah
kota Mekah. Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat
semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak
Muslimin.
Bila kaum Muslimin sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa' (unta kepunyaan
Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah
berkata: "Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari
Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan
kekeluargaan, tentu saya sambut." Kemudian dimintanya orang-orang itu
supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata: "Rasulullah, kalaupun
kita turun, di lembah ini tak ada air." Mendengar itu ia mengeluarkan
sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya
dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila
anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu airpun
memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun.
Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di Mekah
selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muhammad memasuki
wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah
mengadakan persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy, kemudian
Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing dan Tuhan juga yang akan
memutuskan persoalannya jika sudah mesti terjadi?! Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan
pada kemungkinan ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang
teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu tamatlah riwayat
Quraisy itu di mata orang, untuk selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam
kalau begitu, jabatan menjaga Ka'bah dan mengurus air para pengunjung dan
segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada masyarakat Arab itu,
akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau
begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah
berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah
digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk 'umrah, yaitu suatu
langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran; kecuali jika pihak
Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus
menghunus pedang.
"Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian
terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan
mereka; dan satu segi untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk
merintangi jangan sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya
ialah Budail b. Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza'a.
Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang mendorongnya datang. Setelah dalam
pembicaraan itu mereka merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang,
melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, merekapun pulang
kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu
dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi
mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada
mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk
kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.
F.
Utusan Quraisy
kepada Muhammad
Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui keadaan
mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia tidak akan serampangan
supaya jangan dituduh pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi
Muhammad itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan
Ahabisy.
Terpikir oleh Quraisy pemimpin mereka ini yang hendak di utus, kalau-kalau bila
sudah diketahui bahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling
pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat dukungan dan akan
lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais
pemimpin Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban
itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri
adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak
diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke
Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang
tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok.
Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa
keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam
terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan. Sekarang
ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada
mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu,
Quraisy naik pitam. "Duduklah," kata mereka kepada Hulais.
"Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa."
Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa
persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci,
siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah
Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan
akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya
supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.
G.
Perutusan 'Urwa
ibn Mas'ud
Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang bijaksana
dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada
'Urwa ibn Mas'ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang
keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya,
mereka meminta maaf kepada 'Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus
menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali
akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui
Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah tumpah darahnya yang harus
dipertahankan. Kalau ini sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang
tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk, kemudian
dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang akan mengalami kecemaran
yang cukup parah adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak
diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
Ketika itu Abu Bakr berkata kepada 'Urwa dengan membantah keras,
bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. 'Urwa mengajaknya berbicara sambil
memegang janggut Muhammad. Sedang Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah
kepala Rasul memukul tangan 'Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun
ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, 'Urwa pernah menebuskan tigabelas diat
atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh Mughira. Sekarang 'Urwa pulang
kembali setelah ia mendapat keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga
diberikan kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan
hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan
kewajiban kepada Tuhan. "Saudara-saudara," katanya setelah ia berada
kembali di tengah-tengah masyarakat Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu
dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing.
Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad
dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu,
sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada
rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan
menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik."
Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama juga.
Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani
menyampaikan pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena
itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan
tetapi disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak
mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu
dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya itu pihak Mekah
memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak
Muslimin gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang sudah berpikir
sampai ke soal perang. Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai
persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak
bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan mereka ini melempari
kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai empatpuluh
atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi.
Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah kita apa
yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu
tanda ia ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan
ada pertumpahan darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak
dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali.
Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap
Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan
kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala
kekuatan yang ada.
Kemudian Nabi 'alaihissalam sekali lagi berusaha hendak menguji
kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan
perundingan dengan mereka. Umar bin'l-Khattab dipanggil dan dimintainya
menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy. "Rasulullah,"
kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya,
mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu 'Adi b. Ka'b yang akan melindungi saya.
Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas
saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal
ini daripada saya yaitu Usman b. 'Affan."
H.
Usman b'Affan
diutus
Nabipun segera memanggil Usman b. 'Affan -menantunya- dan diutusnya
kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat
membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa'id
yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas
itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin
Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: "Usman,
kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah, bertawaflah." "Saya tidak akan
melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf," jawab Usman. "Kedatangan
kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin
menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang
korban, setelah disembelih kamipun akan kembali pulang dengan aman."
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad
tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan itu jadi lama, dan lama
pula Usman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan
mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan
tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman
sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya
Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan
pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka'bah serta menunaikan kewajiban kepada
Tuhan. Boleh jadi juga mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu
mereka sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan
Muhammad dan hubungan Muhammad dengan mereka.
Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya sudah
gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan
Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama
orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di
sekitar Ka'bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka
kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa
pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu
meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda
mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi 'a.s, sudah merasa kuatir
bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu
katanya: "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat
menghadapi mereka."
I.
Ikrar Ridzwan
Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah sebatang
pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk
tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya
dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar
hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka
menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai'at'r Ridzwan
(Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala
mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati
mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan
kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18). Selesai
Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi 'a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang
sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam
Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam
sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu
pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur
sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar pula
berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan
kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu
Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar 'Aqaba Kedua,
sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya,
sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan
sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar keberanian mereka itu,
bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani
menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh
kemenangan.
J.
Perutusan
Quraisy kepada Muhammad
Usman kembali. Apa yang di katakan Quraisy disampaikannya kepada
Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan
sahabat-sahabatnya itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari
bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang
berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka
sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid bin'l-Walid dengan tujuan akan
memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang sudah terjadi
benterokan-benterokan antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau
sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan
bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan
mereka di mata orangsrang Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud
menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan
pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga memikirkan seperti mereka.
Dia dan mereka, dengan sikapnya masing-masing. Begini ini pendiriannya dan
begitu jalan keluar dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau
tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh. Tetapi
sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka tidak mau; dari satu segi mereka
menghormati kesucian agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang
tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab
itu sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu,
sebab kuatir bulan-bulan suci itu akan dilanggar lagi. Ini suatu perkosaan
terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian penduduk kota itu.
K.
Perundingan
kedua belah pihak
Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua belah
pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. 'Amr dengan pesan:
"Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan
itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab
mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan."
Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya
secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu
hampir saja terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua
belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi
juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi
melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi
menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan
Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh
kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka
hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.
Abu
Bakr dan Umar
Sampai
pada akhir perundingan itu Umar bin'l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi
percakapan berikut ini:
Umar:
"Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
Abu
Bakr: "Ya, memang!"
Umar:
"Bukankah kita ini Muslimin?"
Abu
Bakr: "Ya, memang!"
Umar:
"Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?"
Abu
Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia
Rasulullah."
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan
itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak
mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya
pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah: "Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya
takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
L.
Perjanjian
Hudaibiya (Maret 628)
Selain itu kesabaran Muhammad terlihat pula ketika terjadi
penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih
kesal. Ia memanggil Ali b. Abi Talib dan katanya: "Tulis: Bismillahir-Rahmanir-Rahim
(Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang)." "Stop!" kata
Suhail. "Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah:
Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah)." Kata Rasulullah pula:
"Tulislah: Atas namaMu ya Allah." Lalu sambungnya lagi: "Tulis:
Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail b. 'Amr."
"Stop," sela Suhail lagi. "Kalau saya sudah mengakui engkau
Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama
bapamu."
Lalu kata Rasulullah pula: "Tulis: Inilah yang sudah disetujui
oleh Muhammad b. Abdillah." Dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah
pihak itu ditulis, bahwa kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama
sepuluh tahun - menurut pendapat sebagian besar penulis sejarah Nabi - atau dua
tahun menurut al-Waqidi - bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang
kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan
barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan
dikembalikan; bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan
persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang
mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan; bahwa untuk tahun ini
Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan
ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan
tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya
pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.
M.
Perjanjian
Hudaibiya mulai berlaku
Begitu perjanjian ini ditanda-tangani, pihak Khuza'a segera
bersekutu dengan Muhammad dan Banu Bakr bersekutu pula dengan Quraisy.
Selanjutnya begitu perjanjian ini ditandatangani begitu pula Abu Jandal b.
Suhail b. 'Amr datang dan terus hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan
akan pergi bersama-sama pula. Tetapi Suhail sendiri melihat anaknya demikian
dipukulnya mukanya dan direnggutnya ditentang leher untuk kemudian dikembalikan
kepada Quraisy. Dalam pada itu Abu Jandal sendiri berteriak sekuat-kuatnya:
"Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan kepada orang-orang
musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini?!" Dengan peristiwa
itu kaum Muslimin makin gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian
yang diadakan antara Rasul dengan Suhail. Tetapi Muhammad lalu mengarahkan
kata-katanya kepada Abu Jandal:
"Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan
orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu jalan keluar. Kita
sudah menandatangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita
berikan kepada mereka dan merekapun sudah pula memberikan kepada kita, dengan
nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka." Sekarang Abu Jandal
kembali kepada Quraisy, sesuai vlengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail
juga lalu berangkat pulang ke Mekah. Muhammad masih tinggal. Ia gelisah melihat
keadaan orang-orang sekelilingnya. Kemudian ia sembahyang, dan keadaannya mulai
tenang kembali. Ia berdiri, hewan korbannya mulai disembelih. Ia duduk kembali,
rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah sudah dimulai. Hatinya sudah
merasa tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat
ketenangannya pula, merekapun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur
rambut kepala - sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memangkas
(menggunting) rambut:
"Semoga
Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut," kata
Muhammad. Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya: "Dan mereka yang berpangkas
rambut, ya Rasulullah ?" ,"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada
mereka yang bercukur rambut," katanya lagi. Orang-orang masih gelisah
sambil bertanya: "Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?" "Dan
mereka yang berpangkas rambut," katanya lagi. "Rasulullah," kata
setengah mereka lagi, "kenapa doa buat yang bercukur saja yang dinyatakan,
bukan buat yang bergunting rambut?,, "Karena mereka sudah tidak
ragu-ragu."
"Tidak ada jalan lain buat Muslimin mereka mesti kembali ke
Medinah dengan harapan akan kembali ke Mekah tahun depan. Sebahagian besar
mereka itu membawa pikiran demikian ini dengan berat hati. Kalau tidak karena
perintah Rasul, mereka takkan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka
menerima kekalahan atau menyerah tanpa pertempuran. Karena iman mereka akan
pertolongan Allah kepada Rasul dan agama, mereka tidak ragu-ragu lagi akan
menyerbu Mekah, kalau saja Muhammad memerintahkan yang demikian itu.
N.
Hudaibiya:
suatu kemenangan yang nyata
Mereka tinggal di Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka
yang bertanya-tanya tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu; ada
pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah demikian itu. Akhirnya
mereka berangkat pulang. Sementara mereka di tengah perjalanan antara Mekah
dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi dengan Surah Al-Fat-h. Firman
Tuhan itupun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabat-sahabat: "Kami
telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni
kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan
karuniaNya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus." (Qur'an,
48: 1-2) Dan seterusnya sampai pada akhir Surah.
Tidak sangsi lagi kalau begitu bahwa Perjanjian Hudaibiya ini
adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya.
Sejarahpun mencatat, bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang
bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa
depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama
kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap
mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan
sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian
juga suatu pengakuan bahwa Musliminpun berhak berziarah ke Ka'bah serta
melakukan upacara-upacara ibadah haji; suatu pengakuan pula dari mereka, bahwa
Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu.
Selanjutnya gencatan senjata yang selama dua tahun atau sepuluh tahun membuat
pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan
mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka jalan buat Islam untuk
lebih tersebar lagi. Bukankah orang-orang Quraisy yang merupakan musuh Islam
paling gigih dan lawan berperang yang paling keras itu sekarang sudah tunduk,
sedang sebelum itu mereka samasekali tidak pernah akan mau tunduk?
Kenyataannya setelah persetujuan perletakan senjata itu Islam
memang tersebar luas, berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah
mereka yang datang ke Hudaibiya ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua
tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang
sudah sepuluh ribu orang. Mereka yang masih menyangsikan hikmah perjanjian
Hudaibiya ini, yang sangat keberatan ialah adanya sebuah klausul dalam
perjanjian itu yang menyebutkan, bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy
menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada
mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak
akan dikembalikan kepada Muhammad. Tanggapan Muhammad dalam hal ini ialah
apabila ada orang yang murtad dari Islam dan minta perlindungan Quraisy, orang
semacam ini tidak perlu lagi kembali kepada jamaah Muslimin, dan siapa-siapa
yang masuk Islam dan berusaha menggabungkan diri dengan Muhammad mudah-mudahan
Tuhan akan membukakan jalan keluar.
O.
Cerita Abu
Bashir
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang membuktikan
kebenaran pendapat Muhammad bahkan lebih cepat dari yang diduga
sahabat-sahabatnya. Juga ini menunjukkan, bahwa dengan persetujuan Hudaibiya
itu Islam telah memperoleh keuntungan besar yang luarbiasa, dan dua bulan
kemudian sesudah itu telah pula membukakan jalan buat Muhammad memulai
mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kepala-kepala negara asing
mengajak mereka masuk Islam. Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu memang
membuktikan kebenaran pendapat Muhammad lebih cepat dari yang diduga
sahabat-sahabatnya. Abu Bashir
telah datang dari Mekah ke Medinah sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan isi
persetujuan ia mesti dikembalikan kepada Quraisy sebab ia pergi tidak seijin
tuannya. Untuk itu maka Azhar b. 'Auf dan Akhnas b. Syariq berkirim surat
kepada Nabi supaya orang itu dikembalikan. Surat-surat itu dibawa oleh seorang
laki-laki dari Banu 'Amir yang datang bersama seorang budak.
"Abu Bashir," kata Nabi, "Kita telah membuat
perjanjian dengan pihak mereka, seperti sudah kauketahui. Suatu pengkhianatan
menurut agama kita tidak dibenarkan. Semoga Allah membuat engkau dan
orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu kelapangan dan
jalan keluar. Berangkat sajalah engkau kembali kedalam lingkungan
masyarakatmu." "Rasulullah," kata Abu Bashir, "Saya akan
dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama
saya ini." Lalu Nabi mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang itu pun
berangkat. Sesampainya di Dhu'l-Hulaifa dimintanya kepada kawan seperjalanannya
dari Banu 'Amir itu supaya memperlihatkan pedangnya Setelah digenggamnya
erat-erat pedang itu ditangannya, diayunkannya kepada orang dari Banu 'Amir itu
dan dibunuhnya orang itu. Sekarang sang budak lari ke jurusan Medinah, langsung
menemui Nabi. "Orang ini tampaknya dalam ketakutan," kata Nabi
setelah melihat orang itu. Lalu katanya kepada orang tersebut, "He! Ada
apa?" "Teman tuan membunuh teman saya," kata orang itu. Tidak
lama kemudian Abu Bashir muncul dengan membawa pedang terhunus dan berkata
dengan menujukan kata-katanya kepada Muhammad. "Rasulullah," katanya.
"Jaminan tuan sudah terpenuhi, dan Tuhan sudah melaksanakan buat tuan.
Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya itu saya tetap
bertahan, supaya jangan saya dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama
saya itu."
Sebenarnya Rasul tidak dapat menyembunyikan kekagumannya dan
harapannya sekiranya dia punya anak buah. Sesudah itu Abu Bashir berangkat
juga. Ia berhenti di Al-Ish, di pantai laut sepanjang jalur Quraisy ke Syam.
Dalam perjanjian Muhammad dengan Quraisy ialah membiarkan jalan ini sebagai
lalu-lintas perdagangan, yang tidak boleh diganggu olehnya atau oleh Quraisy.
Tetapi setelah Abu Bashir pergi ke daerah itu dan hal ini didengar oleh umat
Muslimin yang tinggal di Mekah serta tentang kekaguman Rasul kepadanya,
sebanyak kira-kira tujuhpuluh laki-laki dari mereka ini lari pula menemuinya
dan menggabungkan diri di tempat tersebut, lalu dijadikannya dia sebagai
pemimpin mereka. Sekarang mereka bersama-sama mencegat Quraisy dalam perjalanan
itu. Setiap orang yang berhasil mereka tangkap, mereka bunuh dan setiap ada
kafilah dagang tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy menyadari bahwa hal
ini merupakan suatu kerugian besar buat mereka, apabila kaum Muslimin itu masih
tetap tinggal di Mekah. Mereka memperhitungkan, bahwa usaha mengurung orang
yang benar-benar teguh imannya, lebih berbahaya daripada membebaskannya. Tentu
ia akan mencari kesempatan lari. Ia akan melancarkan perang yang tak
berkesudahan terhadap mereka yang mengurungnya, dan mereka juga yang akan rugi.
Seolah teringat oleh Quraisy ketika Muhammad hijrah ke Medinah. Ia mencegat
perjalanan kafilah mereka. Perbuatan semacam itu mereka kuatirkan akan diulangi
oleh Abu Bashir.
Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi.
Dimintanya supaya ia mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan
jalan lalu-lintas itu kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak
dari apa yang secara gigih disyaratkan oleh Suhail b. 'Amr bahwa Muslimin
Quraisy yang pergi menyeberang kepada Muhammad tidak seijin walinya harus di
kembalikan ke Mekah. Dengan sendirinya syarat itu jadi gugur, yang dulu pernah
membuat Umar bin'l-Khattab jadi gusar karenanya dan yang telah menyebabkan dia
jadi marah-marah kepada Abu Bakr. Selanjutnya Mulmammad telah menampung
sahabat-sahabatnya itu dan jalan ke Syam itu pun kembali jadi aman.
P.
Wanita-wanita
Muslihat yang hijrah
Terhadap wanita-wanita Quraisy yang turut hijrah ke Medinah,
Muhammad mempunyai pendapat lain lagi. Setelah ada persetujuan gencatan senjata
itu Umm Kulthum bt. 'Uqba b. Mu'ait keluar dari Mekah. Saudaranya, 'Umara dan
Walid, yang kemudian menyusul, menuntut kepada Rasulullah supaya wanita itu
dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiya. Akan tetapi
Nabi menolak. Ia berpendapat, bahwa menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk
dalam persetujuan itu. Apabila ada wanita yang minta perlindungan, maka harus
dilindungi. Disamping itu, bilamana wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya
yang masih musyrik sudah tidak sah lagi. Mereka harus berpisah. Dalam hal
inilah firman Tuhan datang:
"Orang-orang yang beriman. Apabila wanita-wanita yang beriman
itu, datang hijrah kepada kamu hendaklah mereka itu kamu uji. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka. Bila kamu juga sudah mengetahui, bahwa
mereka memang wanita-wanita yang beriman, jangan hendaknya mereka dikembalikan
kepada orang-orang yang kafir. Mereka tidak halal buat (menjadi isteri)
orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itupun tidak halal buat (menjadi
suami) mereka. Dan bayarkanlah kepada (suami-suami) mereka apa yang sudah
mereka nafkahkan. Tiada salahnya kamu menikah dengan mereka itu kalau sudah kamu
bayarkan maharnya. Dan janganlah kamu bertahan pada perkawinan wanita-wanita
kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, begitupun biarlah mereka
juga minta apa yang telah mereka nafkahkan. Demikian itulah Dia memberikan
keputusan antara sesama kamu. Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana."
(Qur'an, 60: 10)
Q.
Apa yang
dilakukan Muhammad
Sekali lagi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi itu membuktikan
kebenaran kebijaksanaan Muhammad. Membenarkan pandangannya yang jauh serta
politiknya yang, tepat sekali. Selanjutnya membuktikan pula, bahwa ketika ia
membuat Perjanjian Hudaibiya itu ia telah meletakkan dasar yang kukuh sekali
dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam. Dan inilah kemenangan yang
nyata itu. Dengan adanya Pelianjian Hudaibiya ini segala hubungan antara
Quraisy dengan Muhammad telah menjadi tenang sekali. Masing-masing pihak sudah
merasa aman pula. Sekarang Quralsy semua mencurahkan perhatiannya pada
perluasan perdagangannya, dengan harapan kalau-kalau semua kerugian yang dialaminya
selama perang antara Muslimin dengan Quraisy itu dapat ditarik kembali;
demikian juga ketika jalan ke Syam itu tertutup perdagangannya terancam akan
mengalami kehancuran. Sebaliknya Muhammad, ia mencurahkan perhatiannya pada
soal kelanjutan menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat manusia di segenap
pelosok dunia. Pandangannya diarahkan dalam langkah mencapai sukses untuk
ketenteraman umat Muslimin di seluruh jazirah. Bidang itulah yang dilakukannya
dengan mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja pada beberapa negara,
disamping mengosongkan orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab, yang
semuanya itu selesai samasekali sesudah perang Khaibar.
BAB III
PENUTUP
Setelah beberapa lama akhirnya kaum Muslimin berhasil memasuki
Mekah. Di Mekah kaum Muslimin melaksanakan ibadah haji. Kaum Muslimin masuk
tanpa membawa peralatan perang. Kaum Muslimin berhasil masuk ke Mekah karena terbentuknya
perjanjian Hudaibiya. Kaum Muslimin dan kaum Quraisy telah setuju dengan
perjanjian Hudaibiya. Setalah terbentuknya perjanjian ini banyak orang-orang
yang berbondong-bondong masuk islam karena islam telah diakui oleh kaum Quraisy
bahwa islam adalah salah satu agama yang boleh mengunjungi Ka’bah di Mekah.
Isi perjanjian Hudaibiya “Bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy
menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada
mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy,
tidak akan dikembalikan; bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang
mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang
senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan; bahwa untuk
tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah,
dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota
dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya
pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain. “
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husain Haekal,
Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1997.
Nama lengkapnya Abu
Bashir 'Utba b. Usaid (atau b. Asid seperti dalam As-Sirat'n-Nabawiya oleh Ibn
Hisyam, jilid tiga, p. 337) dari Thaqif, karena keyakinan agamanya telah
dipenjarakan oleh Quraisy di Mekah. Kemudian ia melarikan diri menyusul Nabi ke
Medinah (A).