Disusun oleh Maharani Intan Derie
dan Hilman Kusmayadi
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Di
antara makhluk Tuhan, manusia adalah makhluk yang paling istimewa. Betapa
tidak, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi Allah “kebebasan
memilih” sebagai amanat yang tidak Allah berikan kepada langit, matahari, bumi,
dan bulan. Dan ini barangkali sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di
muka bumi. Jadi sebagai khalifah Allah, manusia diberikan Tuhan bukan saja
segala yang ada di muka bumi, tetapi juga kebebasan memilih yang merupakan
hadiah dari Tuhan yang, menurut Jalaludin Rumi, amat patut kita hargai dan kita
syukuri.
Setiap orang dapat membawa atau mengarahkan
kemauan dirinya dengan segala tanggungjawabnya, dapat menempatkan dirinya
dimana saja dia menghendaki, maju atau mundur, memuliakannya atau
menghinakannya. Maka ia akan bertanggung jawab terhadap apa yang diusahakannya,
terikat dengan apa yang dilakukannya. Allah telah menjelaskan kepada jiwa
(manusia) ini jalan yang dapat ditempuhnya dengan kesadaran, lewat risalah yang
Allah titipkan kepada utusan-utusan-Nya.
Perspektif setiap individu cenderung
berbeda satu dengan yang lainnya, begitupun halnya dalam mengartikan kebebasan
dan tanggung jawab itu sendiri. Yang pada intinya di setiap hak pasti ada
kewajiban yang berimplikasi pada kebebasan dan tanggung jawab.
A.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebebasan yang
dimaksud dalam Al-Qur’an ?
2.
Bagaimanakah Pertanggung jawaban yang dimaksud dalam Al-Qur’an ?
A.3. Tujuan
Salah satunya,
dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kebebasan dan tanggung jawab dalam
al-Qur’an dan mengetahui ayat-ayat yang berkaitan tentangnya.
B. PEMBAHASAN
1.
Pembahasan
Ayat-ayat tentang Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia
Kebebasan
secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi
dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.
Orang
yang hidup dalam kebebasan adalah mereka yang dapat bertindak tanpa terhalangi
oleh hambatan-hambatan yang dibuat orang lain untuk menghalanginya. Namun,
kebebasan yang seperti ini hanya dapat terwakili secara moral dan bersifat
logis jika kebebasan itu sendiri sebagai prinsip tidak terlalu ditonjolkan.
Akhir-akhir
ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur apapun
maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami sebagai padanan
kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk
berbuat atau melakukan sesuatu. Yang disebut pertama adalah kebebasan negatif,
dimana segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun
ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (‘bebas
untuk’) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan sendiri
apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two Concepts of
Liberty (1958).
Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna
sekaligus. Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat
asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan
disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’.
Setiap orang terlahir sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda
kufur, syirik dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian
mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.
Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan
fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah
itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi
Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan
belenggu syaitan. Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani,
dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): pertama, bebas dari ikatan
hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga
diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam
sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta‘isa ‘abdu d-dinar’)
Makna kedua dari kebebasan adalah
daya kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah)
yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah
jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah
jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para
nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat.
‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan’
Al-Kahfi [18]: 29)
ÈÈ@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.
Ketiga, kebebasan dalam Islam
berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor
Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang
tepat dan baik akibatnya.
Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu
sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan
sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia
beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Allah telah memberikan petunjuk-Nya
secara jelas bagi hambanya, manakah jalan yang sebaiknya ditempuh atau pilihan
yang sebaiknya di pilih, lewat risalah-risalah yang Dia titipkan kepada para
utusan-utusan-Nya. Sebenarnya manusia tidak usah memilih lagi mana yang benar
dan mana yang harus dipilih. Tapi penafsiran atas risalah itulah yang berbeda
sehingga menuntut seseorang untuk memilih, penafsiran mana yang akan saya
pilih. Dan Allah pun telah menyiapkan konsekuensi bagi setiap pilihannya dengan
seadil-adilnya. sebagimana yang tertera dalam surat (Al-Insan [76]: 3-5)
$¯RÎ) çm»uZ÷yyd @Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ !$¯RÎ) $tRôtFôãr& úïÌÏÿ»s3ù=Ï9 6xÅ¡»n=y Wx»n=øîr&ur #·Ïèyur ÇÍÈ ¨bÎ) u#tö/F{$# cqç/uô³t `ÏB <¨ù(x. c%x. $ygã_#tÏB #·qèù$2 ÇÎÈ
(3) Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (4). Sesungguhnya Kami menyediakan bagi
orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (5).
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi
minuman) yang campurannya adalah air kafur
Manusia diberikan kebebasan
menentukan pilihan hidup untuk kembali kepada eksistensi yang alamiah
(pra-manusiawi), atau mengembangkan diri hingga mencapai eksistensi dirinya yang
lebih manusiawi. Pilihan pertama berarti memperturutkan hawa nafsunya,
sementara pilihan kedua berarti mengikuti hati nurani. Bagi agamawan, agama
diturunkan untuk membimbing manusia agar sesuai dengan fitrahnya sebagai
makhluk primordial yang sakral. Manusia dalam mengembangkan potensi nalar,
nurani dan keimanannya menjadikan dirinya menjadi manusia seutuhnya (insan
kamil). Karena itu, apabila sebagai manusia kita hanya memperturutkan nafsu
ekonomi semata, lantas apa bedanya manusia dengan binatang. Jadi, ada sebab
akibat dalam suatu kebebasan dalam islam, dan kebebasan juga bukan berarti
bebas tanpa batas, tapi tetap ada hal yang harus d perhitungkan.
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab timbul karena telah
diterima wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara
pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab seimbang dengan
wewenang. Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu
yang menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya.
“Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan
kamu bertanggung jawab atas kepemimpinan itu”. (Al-Hadits, Shahih Bukhari –
Muslim)
“Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab
hari esok dengan menghindarinya pada hari ini”. (Abraham Lincoln)
Dalam
sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil
Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat
* (#rçà³ôm$#
tûïÏ%©!$#
(#qçHs>sß
öNßgy_ºurør&ur
$tBur
(#qçR%x.
tbrßç7÷èt
ÇËËÈ `ÏB
Èbrß
«!$#
öNèdrß÷d$$sù
4n<Î)
ÅÞºuÅÀ
ËLìÅspgø:$#
ÇËÌÈ óOèdqàÿÏ%ur
( Nåk¨XÎ)
tbqä9qä«ó¡¨B
ÇËÍÈ
(22)(kepada
Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta
teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, (23).
selain Allah; Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (24). dan
tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena Sesungguhnya mereka akan ditanya:
yang artinya : (Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang
yang dzalim beserta teman sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka
sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan
tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan
ditanya ( dimntai pertanggungjawaban ).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya
tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telab melakukan kedzaliman.
Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab
seorang pemimpin di akhiarat nanti dengan kata-katanya yang terkenal :
“Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai
pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya
?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholih
tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu
berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa
ayat seperti ayat 164 surat Al-an’am
@è%
uöxîr&
«!$#
ÓÈöö/r&
$|/u
uqèdur
>u
Èe@ä.
&äóÓx«
4 wur
Ü=Å¡õ3s?
@à2
C§øÿtR
wÎ)
$pkön=tæ
4 wur
âÌs?
×ouÎ#ur
uøÍr
3t÷zé&
4 §NèO
4n<Î)
/ä3În/u
ö/ä3ãèÅ_ó£D
/ä3ã¥Îm7t^ãsù
$yJÎ/
öNçFZä.
ÏmÏù
tbqàÿÎ=tGørB
ÇÊÏÍÈ
Katakanlah:
"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Artinya:
“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada
dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat
Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan
@ä.
¤§øÿtR
$yJÎ/
ôMt6|¡x.
îpoYÏdu
ÇÌÑÈ
Artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah di perbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan
seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa
meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah
tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati
batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih
terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal ?
Seorang
yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan
baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi.
Karena, boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika
dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa
jadi akan amat besar pahala atau dosanya.
Manusia dapat memilih dua jalan (baik atau
buruk), tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya.
Manusia tidak membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang
lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat
164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi
syaratsyarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran. Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15)
. Ç`¨B 3ytF÷d$#
$yJ¯RÎ*sù
ÏtGöku
¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9
( `tBur
¨@|Ê
$yJ¯RÎ*sù
@ÅÒt
$pkön=tæ
4 wur
âÌs?
×ouÎ#ur
uøÍr
3t÷zé&
3 $tBur
$¨Zä.
tûüÎ/ÉjyèãB
4Ó®Lym
y]yèö6tR
Zwqßu
ÇÊÎÈ
Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai dengan
kemampuannya... (QS Al-Baqarah
[2]: 286) Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik dua kaidah yang
berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk
mempertanggungjawabkan
apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang
tidak dilakukannya, sekalipun hal
tersebut diketahuinya.
Adapun perhitungan amal yang
disajikan dalam surat An-Najm [53]: 36-41 : ÷Pr&
öNs9
ù'¬6t^ã
$yJÎ/
Îû
É#ßsß¹
4ÓyqãB
ÇÌÏÈ zOÏdºtö/Î)ur
Ï%©!$#
#®ûur
ÇÌÐÈ wr&
âÌs?
×ouÎ#ur
uøÍr
3t÷zé&
ÇÌÑÈ br&ur
}§ø©9
Ç`»|¡SM~Ï9
wÎ)
$tB
4Ótëy
ÇÌÒÈ ¨br&ur
¼çmu÷èy
t$ôqy
3tã
ÇÍÉÈ §NèO
çm1tøgä
uä!#tyfø9$#
4nû÷rF{$#
ÇÍÊÈ
(36). ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran- lembaran Musa? (37). dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji? (38). (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain, (39). dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. (40). dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihat (kepadanya). (41). kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan
Balasan yang paling sempurna,
Ayat ini menjadi suatu dasar dari pertentangan di kalangan
ulama berkenaan dengan pertanyaan “Sampaikah bacaan Al-Qur’an masih hidup
kepada orang yang sudah meninggal?” yang biasa disebut oleh Ahlussunah Wal
Jama’ah sebagia tahlilan. Yang akhirnya ada dua kubu dalam meyakini hal ini
tidak sampai dan sampai. dan masing-masing dari mereka pun tentunya memiliki
argumen masing-masing yang tak kalah kuatnya. Dalam menyikapi hal ini, kita
dapat mengambil sesuai dengan pemahaman dan keyakinan kita mengenai
argumen-argumen yang di nyatakan.
2.
Penafsiran
a.
Manusia
Bebas Berkehendak
-
(Al-Kahfi
[18]: 29)
-
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.
-
-
l Ibnu Katsir
Maksud kebebasan untuk beriman atau
kafir di sini yakni merupakan ancaman yang sangat keras. Karena itu, Allah
ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim
itu,” yakni orang-orang yang kafir kepada Allah, kepada Rasul dan Kitab-Nya,
“neraka yang gejolaknya mengepung mereka”, yakni memagari mereka. Ibnu Juraij
berkata, “Ibnu Abbas berkata, yakni benteng dan api.”
Firman
Allah ta’ala, “Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.” Ibnu Abbas
berkata, “Al-Muhli berarti air yang
kasar seperti endapan minyak. Air itu hitam, bau, kasar, dan panas. Karena itu,
Allah ta’ala berfirman, “Yang menghapuskan muka” karena demikian panasnya. Jika
orang kafir akan meminumnya lalu dia mendekatkan kewajahnya, maka hanguslah
mukanya dan berjatuhanlah kulit wajahnya.
Firman Allah Ta’ala, “itulah minuman
yang paling buruk.” yakni, alangkah buruknya minuman ini. hal ini sebagimana
firman Allah ta’aladalam ayat lain, “Dan diberi minum dengan air yang mendidih
sehingga menghancurkan usus-usus mereka.” (Muhammad: 15) FirmanAllah Ta’ala,
“Dan tempat istirahat yang paling jelek,” yakni neraka itu merupakan tempat
tinggal, topik perbincangan, tempat berkumpul, dan tempat tempat istirahat yang
paling buruk. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat lain, “
sesungguhnya neraka itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat
tinggal.”
l
Tafsir Al-Mishbah
Ayat
ini memerintahkan Rasul saw. menegaskan kepada semua pihak termasuk kaum
musyrikin yang aknguh itu bahwa: “Dan
katakanlah wahai Nabi Muhammad saw. bahwa: kebenaran yakni wahyu ilahi yang aku sampaikan ini datangnya dari Tuhan Pemelihara kamu dalam
segala hal; maka barang siapa di
antara kamu, atau selain kamu yang ingin
beriman tentang apa yang kusampaikan ini maka
hendaklah ia beriman, keuntungan dan manfaatnya akan kembali kepada dirinya
sendiri, dan barang siapa diantara
kamu atau selain kamu yang ingin kafir
dan menolak pesan-pesan Allah maka
biarlah ia kafir.....” (56)
-
(Al-Insan
[76]: 3-5)
$¯RÎ) çm»uZ÷yyd @Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ !$¯RÎ) $tRôtFôãr& úïÌÏÿ»s3ù=Ï9 6xÅ¡»n=y Wx»n=øîr&ur #·Ïèyur ÇÍÈ ¨bÎ) u#tö/F{$# cqç/uô³t `ÏB <¨ù(x. c%x. $ygã_#tÏB #·qèù$2 ÇÎÈ
(3). Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (4). Sesungguhnya Kami menyediakan bagi
orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (5).
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi
minuman) yang campurannya adalah air kafur
l Tafsir Ibnu Katsir
Menerangkan dan menjelaskannya,
sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami tunjuki dia dua jalan.” Artinya Kami jelaskan
kepadanya jalan kebaikann dan jalan keburukan, Terdapat sebuah riwayat dari
Jabir bin Abdillah r.a. katanya Rasulallah saw. bersabda, “Setiap anak itu dilahirkan di atas fitrah sehingga digerakkan lisannya,
apakah dia bersyukur atau kufur.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi bersabda, “Tidak ada seorang
pun yang keluar melainkan di pintunya terdapat dua bendera. Satu bendera di
tangan malaikat dan satu bendera di tangan setan. Bila keluar untuk sesuatu yang
dicintai Allah, dia akan diikuti oleh bendera malaikat, maka tidak hentinya dia berada di bawah naungan bendera
malaikat hingga kembali ke rumahnya. Namun, bila keluar untuk sesuatu yang
dibenci oleh Allah, dia akan diikuti olrh bendera setan, maka tidak hentinya
dia berada di bawah naungan bendera setan sehingga dia kembali ke rumahnya.”
l
Tafsir Al-Misbah
Kata
hadainaahu terambil dari kata Hidaayah yang berarti memberi petunjuk
yang disampaikan secara halus dan lemah lembut menuju apa yang diharapkan. Kata
as-sabiil yang dimaksud di atas
adalah Tuntunan Allah dan rasul.
Diibaratkan sebagai penunjuk jalan, manusia diibaratkan sebagai pejalan,
tuntunan agama adalah jalan yang hendak ditelusuri, dan batas akhir jalan
adalah tujuan yang hendak dicapai yakni surga.
Adapun yang dimaksud dengan kata Syaakiran / Bersyukur adalah siapa yang
menyambut hidayah Allah itu. Penyambutannya dinamai syukur karena syukur adalah
menggunakan anugerah sesuai dengan tujuan yang diberinya. Hidayah Allah
dimaksud agar manusia menggunakannya sebagai petunjuk.
Ayat tersebut menggunakan bentuk
hiperbola (Mubaalaghah) ketika
menunjuk (manusia) yang sangat kafir,
yakni dengan kata Kafuuran. akan
tetapi ketika menyebutkan (manusia) yang
bersyukur ayat ini tidak menggunakan bentuk tersebut, yakni kata Syaakiran / yang bersyukur. Ini agaknya
disebabkan karena jumlah yang syakuur
(amat bersyukur) dari hamba-hamba-Nya amat sedikit sekali sebagiamana
ditegaskan oleh firman-Nya:
“Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
syukuur (amat syukur)” (QS. Saba’ [34]: 13) Sedangkan yang Kufuur (amat durhaka) sungguh banyak.
Kata
al-abraar adalah bentuk jama’ dari
kata barr dan birr. Kata yang terdiri dari huruf-huruf ini mengandung beberapa
makna antara lain, kebenaran. Dari
sini lahir makna ketaatan. karena
taat membenarkan yang diperintahnya
dengan tingkah laku; menepati janji,
karena yang menepati janjinya, membenarkan ucapannya, juga dengan makna kejujuran dalam cinta. Seseorang
disifati dengan kata barr atau baarr dia yang meluas lagi banyak
kebaikan serta kebaktianny. Thabaathabaa’i bahwa seseorang yang menyandang
sifat ini adalah ia yang baik amalnya tanpa menghendaki bagi dirinya satu
manfaat, balasan atau terima kasih.
Ini berarti ia melakukan kebaikan itu, karena kebaikannya bukan karena manfaat
yang kembali pada dirinya. Ia melakukannya walau hatinya merasa berat, namun ia
menekan dan bersabar menghadapi gejolak nafsunya itu agar amal baik itu dapat
dilakukannya secara sempurna.
l
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Diungkapkannya
petunjuk dengan kata “syukur” karena syukur merupakan getaran terdekat yang
datang kedalam hati orang yang mendapat petunjuk, Syuur adalah getaran pertama
yang datang kedalam hati yang beriman di dalam momentum ini. Karena itu, kalau
dia tidak bersyukur, dia kafir. Digunakannya bentuk kata kuffur ini untuk menunjukkan intensitas kekafiran. dan tahulah
manusia bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan tertentu, ia
terikat pada poros, dan ia dibekali dengan pengetahuan dan pengertian. dan
karena itulah ia akan dihisab dan dimintai pertanggung jawaban, dan ia di sini
(di dunia ini) adalah untuk diuji dan untuk menempuh ujian itu. maka selama
hidupnya di muka bumi, adalah masa ujian yang harus ditempuhnya, bukan masa
untuk bermain dan bersenang-senang serta berbuat yang sia-sia.
Oleh karena itu pulalah, adanya
beban berat yang harus dipertanggungjawabkannya dan harus disikapi dengan penuh
keseriusan dan kepatuhan, yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan ini,
sebagai pelaksanaan ujian yang diharapkan membawa hasil dan nilai yang baik.
Selanjutnya dipaparkan apa yang bakal diperoleh manusia setelah menempuh ujian
ini dan setelah memilih jalan kesyukuran atau kekafiran.
b.
Manusia
Bertanggung Jawab atas setiap Pilihan Kehendaknya
-
(Al-Baqarah
[2]: 286
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY/u w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya.
beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
l Tafsir Al-Misbah
Kata
“Laha” yang di atas diterjemahkan
dengan baginya, yakni pahala, dan “’alaiha” dipahami dalam arti atasnya dosa. memang kata ‘ala diginakan anatara lain untuk
menggambarkan sesuatu yang negatif, karena itu di atas ia pahami sebagia dosa,
bertolak belakang dengan kata lahu
yang digunakan untuk menggambarkan kata yang positif. Jika anda berkata (Ad’uu lahu) maka itu berarti saya mendo’akan
kebaikan untuknya. tetapi jika (Ad’uu
‘Alaihi) maka artinya adalah saya mendo’akan bencana atasnya.
Selanjutnya terbaca di atas ketika
ini menggambarkan usaha yang baik, kata yang digunakannya adalah kasabat, sedang kettika berbicara
tentang dosa adalah iktasabat.
walaupun keduanya berakar sama, tetapi kandungan maknanya berbeda. Patron kata iktasabat digunakan untuk menunjukkan
adanya kesungguhan, serta usaha ekstra. berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu dengan mudahdan tidak disertai
dengan upaya sungguh-sungguh. Penggunaan kasabat dalam menggambarkan usaha positif, memberi
isyarat bahwa kebaikan, walau belum dalam bentuk niat dan bellum wujud dalam
kenyataan, sudah mendapat imbalan dari Allah. berbeda denga keburukan. ia baru
dicatat sebagi dosa setelah diusahakan dengan kesungguhan dan lahir dalam
kenyataan. Di samping itu, penggunaan bentuk kata tersebut juga menggambarkan,
bahwa pada prinsipnya jiwa manusia cenderung berbuat kebajikan. memang jika
kejahatan itu telah berulang-ulang dilakukan seseorang hingga menjadi
kebiasaannya, maka ketika itu apa yang dilakukannya tidak lagi dilukiskan
dengan iktasabat. Lihatlah al-Baqarah: 81 di sana digubnakan kata kasaba, bukan iktasaba, karena seperti bunyi ayat tersebut, yang bersangkutan telah diliputi dosanya, mereka itulah
penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
l Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Pandangan seorang muslim terhadap
rahmat dan keadilan Rabbnya dalam memberikan tugas kekhalifahan kepadanya di
muka bumi, terhadap ujian yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas itu, dan
terhadap balasan atas semua tindakannya kelak di akhirat. Ia yakin akan rahmat
dan keadilan atas semua itu. Lalu ia tdak merasa kesal atas tugas yang
diberikan dan tidak merasa berat untuk melaksanakannya. Ia percaya bahwa Allah
yng memberikan tugas itu lebih tahu tentang kemampuannya. Kiranya tugas itu di
luar kemampuannya, tentu Dia tidak akan memberikannya. Di samping pandangan ini
memberikan ketenangan dan ketentraman dalam hati, juga mendorong dan memperkuat
tekad orang mukmin untuk mengemban tugasnya.
Lahaa
maa kasabat wa’alaihaa maktasabat , di sisni terlihat tanggung jawab
individual. seseorang hanya akan mendapatkan
ganjaran dari perbuatannya, baik perbuatan itu baik maupun buruk. setiap
manusia kelak akan mendapatkan buku khusus dari Rabbnya. Disitu tercatat semua
pahala dan dosanya. Saat itu tidak mungkin membebankan kesalahan kepada orang
lain, dan tidak pula bisa minta pertoloak dengan dari siapa pun. Pada hari
kiamat kelak, seseorang tidak bisa menolong orang lain dan seseorang tidak
dapat ngalihkan dosanya kepada orang lain. Karena itu, setiap orang
bersemangatmembela diri dan melindungi hak Allah atas dirinya. Sebab, dia
sendirilah yang akan menerima pembalasan atas semua tiu nanti di akhirat.
-
(An-Najm
[53]: 36-42)
÷Pr& öNs9 ù'¬6t^ã $yJÎ/ Îû É#ßsß¹ 4ÓyqãB ÇÌÏÈ zOÏdºtö/Î)ur Ï%©!$# #®ûur ÇÌÐÈ wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ ¨br&ur 4n<Î) y7În/u 4pktJYßJø9$# ÇÍËÈ
(36). ataukah belum diberitakan kepadanya
apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? (37). dan lembaran-lembaran Ibrahim
yang selalu menyempurnakan janji? (38). (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain, (39). dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, (40). dan bahwasanya usaha itu
kelak akan diperlihat (kepadanya). (41). kemudian akan diberi Balasan kepadanya
dengan Balasan yang paling sempurna, (42). dan bahwasanya kepada Tuhamulah
kesudahan (segala sesuatu),
l Tafsir Ibnu Katsir
“Dan lembaran-lembaran Ibahim yang
selalu menyempurnakan janji?” Yaitu, melakukan semua perintah dan melakukan
semua larangan, serta menyampaikan risalah secara sempurna dan utuh. Karenanya,
ia hendak menjadi imam bagi umat manusia yang akan dijadikan suri teladan dalam
semua kebijakan, perkataan dan perbuatannya. Allah berfirman, “Kemudian Kami
wahyukan kepadamu, ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif, dan bukanlah ia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan T uhan.” (An-Nahl: 123)
Kemudian mulailah Allah SWT
menjelaskan wahyu yang terdapat di dalam mushaf Ibrahim dan Musa, ‘Yaitu,
bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikil dosa orang lain.
sebagaimana firman-Nya, “Dan jika seseorang yang berat dosa memanggil (orang
lain) untuk memikul dosanya dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya
sedikit pun, meskipun (orang yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (Faathir:
18)
Selanjutnya Allah SWT berfirman,
“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya),” Yaitu, sebagaimana tidak akan dibebankan kepadanya dosa orang
lain, demikian pula dia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari apa yang
diusahakan oleh dirinya sendiri. Berangkat dari ayat ini Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya berkesimpulan bahwa
pahala membaca Al-Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati
karena bacaan itu tidak termasuk amal dan usaha mereka. Karenanya, rRasulullah
saw. tidak menyunatkan dan menganjurkan umatnya melakukan hal itu. Dan, tidak
pula membimbing mereka untu melakukan demikian, baik bimbingan itu melalui nash
maupun melalui isyarat. juga perbuatan ini tidakpernah dilakukan oleh para
Sahabat r.a.. Jika merupakan amal baik, tentu mereka kan melakukannya terlebih
dahulu dari pada kita. Dan cara-cara untuk mendekatkan siri kepada Tuahan harus
dibatasi pada cara yang berlandaskan pasa nash-nash saja, tidak boleh dilakukan
berdasarkan ukuran dan pemikiran belaka.
l Tafsir Al-Misbah
Yang
terdapat dalam lembaran-lembaran kitab Taurat dan lembaran-lembaran Ibrahim
adalah bahwa seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. ayat di atas menyebut Nabi Musa dan Ibrahim
as. Kedua Nabi ini disebut secara eksplisit, karena masyarakat ketika itu
sangat mengenal dan mengagumi keduanya. Orang-orang Arab merasa mengikuti Nabi Ibrahim as. sedang masyarakat Yahudi merasa mengikuti nabi Musa as.
Didahulukannya menyebutkan Shuhuf
Musa atas Shuhuf Ibrahim as., boleh jadi untuk menyebutkan sifat terpuji Nabi
Ibrahim as. sekaligus untuk mempersamakan bunyi fashilat akhir ayat di atas dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya.
Huruf lam pada firman-Nya; lil
insan berarti memiliki. kepemilikan dimaksud adalah kepemilikan hakiki, yang senantiasa akan
emnyertai manusia sepanjang eksistensinya. ia adalah amal-amalnya yang baik dan
yang buruk. ini berbeda dengan kepemilikan
relatif, seperti kepemilikan harta, anak kedudukan dan lain-lain.
kata sa’aa pada mulanya berarti berjalan
cepat namun belum sampai tingkat berlari. Kata ini kemudian digunakan dalam
arti berupaya secara sungguh-sungguh. perolehan
syafa’at atau do’a dan istigfar yang diperoleh seseorang dari pihak lain,
merupakan bagian dari buah amalnya, yakni keimanan kepada Allah swt., karena
tanpa keimanan itu maka ia tidak akan memperoleh syafa’at, tidak juga akan
dido’akan atau diterima do’a yang dipanjatkan kepada Allah untuknya. Dalam
konteks upaya itulah Rasul saw. bersabda: “Apabila mati salah seorang putra
Adam, maka terputuslah amalnya kacuali dari tiga sumber, shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfa’at serta anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Bukhari dan Muslim
melalui Abu ‘Amr Ibn Abdillah ra.)
l
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain, baik karena untuk meringankan maupun untuk
membebani orang lain. Seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk meringankan
beban dan dosanya. Seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk patuh, lalu dia
memikul sedikit beban orang lain. Demikian pula seseorang tidak dihisab kecuali
berdasarkan usaha, upaya dan amalnya. Dia tidak mendapat sedikitpun dari usaha
orang lain dan tidak dikurangi sedikitpun karena diberikan kepada orang lain.
Dari ayat yang mulia ini Imam
Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa hadiah bacaan Al-Qur’an tidak
sampai kepada orang yang meninggalsebab ia tidak termasuk amal dan usaha orang
yang meninggal. Adapun do’a dan sedekah disepakati ulama ihwal sampainya kepada
mayat, karena kedua hal ini ditegaskan oleh pembuat syari’at.
Setiap orang akan meraih balasan
usahanya secara penuh dan lengkap tidak dikurangi dan dizalimi. Demikianlah
telah ditetapkan prinsip tanggung jawab individual yang disandingkan dengan
pembalasan yang adil. Sehingga, prinsip ini mewujudkan nilai kemanusiaan
dikalangan umat manusia. Nilai yang bertumpu pada pertimbangan bahwa manusia
sebagai makhluk yang lurus, bertanggung jawab, percaya diri, dan mulia.
-
(Al-Muddatsir
[74]: 38)
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya,
l Tafsir Ibnu Katsir
Maksud ayat tersebut yaitu setiap
orang itu bergantung dengan amalnya dan hari akhirat nanti.demikian lah yang
dikatakan Ibnu Abbas dan yang lain.
l Tafsir Al-Mishbah
Kata kasabat demikian juga kata iktasaba
terambil dari kata kasaba yang
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak madharat. pada
mulanya kata ini digunakan apabila perbuatan tersebut digunakan oleh anggota
badan manusia, khususnya tangannya, tetapi Al-Qur’an menggunakannya juga bagi
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia.
Pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghib
al-Ashfahani berpendapat lain. menurutnya kata iktasaba tidak digunkan kecuali
untuk perbuatan yang manfaatnya diperoleh oleh si pelaku, sedangkan kata kasaba sebagaimana ayat di atas
digunakan untuk sema perbuatan, baik yang mnafaatnya tertuju kepada pelaku
maupun kepada selainnya. kalau demikian, kata kasabat dalam ayat ini mencakup amal-amal baik dan buruk.
Ayat 38 di atas menegaskan bahwa
setiap pribadi tergadai di sisi Allah. Ia harus menebus dirinya dengan
amal-amal perbuatan baik. Setiap pribadi seakan berhutang kepada Allah swt. dan
ia harus membayar kembali utangnya kepada Allah untuk membebaskan dirinya.
l
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Di
bawah bayang-bayang irama yang mengesankan sekaligus menakutkan ini
diumumkanlah tanggung jawab masing-masing orang atas dirinya, dan dibiarkanlah
mereka memilih jalan hidupnya dan tempat kembalinya di akhirat nanti, dan
dinyatakan pula bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan semua usaha yang telah
dipilihnya, akan mempertanggungjawabkan amal perbuatan dan dosa-dosanya.
Setiap orang dapat membawa atau
mengarahkan kemauan dirinya dengan segala tanggung jawabnya, dapat menempatkan
dirinya dimana saja dia menghendaki, maju atau mundur mamuliakannya atau
menghinakannya. Maka dia akan bertnggung jawab atas apa yang diusahakannya,
terikat dengan apa yang dilakukannya.
3.
Analisis
Terdapat
hubungan erat antara kebebasan dan tanggung jawab. Ruang kebebasan harus diisi
dengan sikap dan tindakan, yang artinya bukan bebas tanpa batas begitu saja
malah justru sebaliknya, ada konsekuensi dalam segala sesuatu. Kebebasan
memungkinkan kita sendiri yang menentukan, karena kadang orang lain bisa
mempengaruhi atas kebebasan kita. Tindakan yang diambil dalam kebebasan menjadi
tanggung jawab kita. Kebebasan yang dimiliki tidak boleh diisi dengan
sewenang-wenang, tetapi secara bermakna. (Semakin bebas semakin bertanggung
jawab). Penolakan bertanggung jawab akan mempersempit wawasan (hanya memperhatikan
diri sendiri) dan memperlemah diri sendiri. Sebaliknya semakin bertanggung
jawab semakin bebas.
C. Kesimpulan
Jadi, dalam tataran praktis,
kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala kebebasan palsu
mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan seyogianya dipandu ilmu dan
adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Supaya membawa kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman
Allah: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya)
untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hambaNya” (QS. Fushshilat:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan
kebablasan.
Orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang
memiliki kebebasan. Manusia dikatakan bebas apabila ia terikat pada
norma-norma. Apabila ia tidak mengakui hal itu maka ia tetap tidak bebas,
karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terikat pada hokum
yang lebih tinggi dan tidak sempurna. Norma tidak memaksa manusia, sebaliknya,
norma memberikan kebebasan kepadanya. Manusia bebas untuk menerima atau tidak
menerima norma. Meskipun demikian, kebebasan merupakan kenyataan yang begitu
pentingnya, sehingga tegak runtuhnya kesusilaan tergantung pada pengakuan atau
pengingkaran atas kebebasan.
Inilah ungkapan kebebasan yang perlu kita renungkan,
"und das Gesetz nur kaum uns Freiheit Geben", artinya, hanya hukumlah
yang dapat memberikan kebebasan (Gothe) dan "Kebebasan yang sejati
memperhatikan hokum" (Jacques Perk). Dan inilah ungkapan senada mengenai
Kebebasan berdasarkan Al-Qur'an.
"Katakanlah kebenaran datang dari Rabb-mu. Siapa yang
mau percayalah ia, siapa yang mau janganlah percaya"(Q.S Al-Kahfi 18;29)
Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab.
Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan
tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem
nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan
instingtif.
!$tB z>$|¹r& `ÏB >pt6ÅÁB wÎ) ÈbøÎ*Î/ «!$# 3 `tBur .`ÏB÷sã «!$$Î/ Ïöku ¼çmt6ù=s% 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇÊÊÈ
Artinya : Barangsiapa yang
beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya dan Allah Maha Mengetahui ats
segala sesuatu. (At Taghobun 11)
Daftar Pustaka
Mufradat Alfazh al-Qur’an
Sayyid
Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah
naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin,
dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004)
www.ikardi.co.id
Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224.
M Quraish
Shihab Tafsir Al-Misbah (jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 56
Sayyid
Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah
naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin,
dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004), hal.121
Shihab,
M Quraish, Tafsir Al-Misbah (jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 432-434