Selasa, 20 September 2011

mekanisme penafsiran


metode - metode penelitian tafsir
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode Ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili)yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.

Metode Tafsir Ijmali
1.Definisi
Secara definitif, metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.

Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.

2.Tujuan dan Target
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.

3.Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :

1.Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
2.Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
3.Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.

4.Ciri Metode Ijmali
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain. Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).

Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.

Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.

Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.

Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.

Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.

Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.

Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.

Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.

Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an.
Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak.


paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.

Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa” untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.

Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat.

Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.

Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).

Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti, penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang tidak mampu”.

Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri. Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak paling terbenarkan dan sangat hegemonik.

Al-Misbah karya Quraish Shihab

Quraish Shihab menawarkan beberapa hal, seperti pendefinisian dan pengajaran kaidah tafsir, pengenalan kitab-kitab tafsir serta metode pengajaran tafsir yang sesuai dengan teori komunikasi modern.

Tafsir al-Misbah adalah karya Quraish Shihab, seorang Doktor Tafsir lulusan Al-Azhar, Mesir. Tafsir ini mulai ditulis pada tanggal 04 Rabi’ul Awwal tahun 1420 H. bertepatan dengan tanggal 18 Juni tahun 1999. Maka dibanding tiga tafsir sebelumnya, al-Misbah adalah tafsir terkini. Saat itu Quraish sedang bermukim di Mesir sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir, Somalia dan Jibuti.
 

Tafsir al-Misbâh terdiri dari 15 volume, setiap volumenya terdiri dari beberapa surat. Dalam pengantar tafsirnya, Quraish menjelakan mengenai makna dan pentingnya tafsir bagi seorang Muslim. Ia juga menjelaskan bahwa tafsir yang ia tulis tidak sepenunya hasil ijtihad dirinya. Akan tetapi merupakan saduran dari beberapa tafsir terdahulu, seperti tafsir Thanthawi, tafsir Mutawali’ Sya’rawi, tafsir fî dzilâlil qur`an, tafsir Ibnu ’Asyur, dan tafsir Thabathaba’i. Namun menurut Quraish, tafsir yang paling berpengaruh dan banyak dirujuk dalam al-Misbah adalah tafsir Ibrahim Ibn ’Umar al-Biqâ’i, seorang mufasir asal Lebanon yang meninggal pada tahun 1480 M. Tafsir inilah yang menjadi bahan disertasinya ketika ia menyelesaikan Doktornya di al-Azhar.

Dalam menulis tafsirnya, Quraish memberikan pengantar terlebih dahulu pada setiap awal surat yang berisi tujuan dan tema pokok surat tersebut. Karena menurutnya jika seseorang sudah mampu memahami tema pokok sebuah surat, maka secara umum ia dapat memahami pesan utama setiap surat.
 

Kemudian ia membagi surat kepada beberapa kelompok ayat. Al-Fatihah umpamanya ia bagi menjadi dua kelompok ayat, kelompok pertama ayat 1-4 sedangkan kelompok kedua ayat 5-7, pembagian ayat itu didasarkan kepada adanya keterkaitan antar ayat.

Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.

Tetapi, metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.

Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini, tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap individu.

Dari sinilah, al-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.

gagasan Abdul Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan. Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut : karena setiap kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.





MENINJAU TENTANG SYARAT-SYARAT DALAM MENAFSIR AL-QURAN

Posted on  by jsmanroe
Orang selalu menegaskan bahwa “untuk menafsirkan Al-Quran itu http://alqursif.files.wordpress.com/2010/07/js-manroe-24.jpg?w=86&h=101harus memenuhi beberapa syarat. Dan jikalau seseorang itu belum memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia belum dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran”. Pernyataan tersebut pada prinsipnya dipandang bukan “sesuatu keputusan yang menjadi syarat mutlak, tetapi merupakan keputusan yang bersifat pengawasan semata untuk menjaga sikap yang berutal dari manusia dalam menafsirkan Al-Quran”. Dikatakan bukan keputusan yang mutlak, karena syarat tersebut bukanlah ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, melainkan syarat-syarat ketetapan yang dibikin oleh manusia itu sendiri.
Berikut ini mari dipungutkan syarat-syarat tersebut, demikian Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam “Ilmu-ilmu Al-Quran”, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, ed. 1972, hlm. 229 mencatatkan, bahwa “ilmu-ilmu yang wajib dimiliki dengan sempurna oleh seorang mufassir”, ialah :
1.       Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf dan ilmu-ilmu balaghah.
2.      Ilmu Ushul Fiqh.
3.      Ilmu Tauhid.
4.      Ilmu Asbabu An-Nuzul dan Qiyas.
5.      Ilmu Nasikh wa Mansukh.
6.      Hadits-hadits yang menerangkan maksud lafal-lafal mujmal dan mubham.
7.      Ilmu Al-Mauhibah (ilmu yang diwariskan Allah kepada seseorang mengamalkan ilmunya dan bersih hatinya dari takabbur dan hubbun duniawi).
Ungkapan persyaratan di atas adalah sebuah kenyataan dalam studi ilmu, dan berhadapan pula dengan kenyataan kondisi sosial manusia. Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy mencatatkan bahwa “‘Ulum Al-Quran” itu lahir ± abad ke-5 Hijriah dengan tersusunnya paket buku “Al-Burhan Fi- ‘Ulumi Al-Quran” karya terbesar dari Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id yang wafat pada 430 Hijriah sebanyak 30 jilid.
Lima Hipotesis
Berikut ini siapa pun akan berhadapan dengan lima hipotesis untuk memberi penilaian terhadap kondisi “para mufassir” dalam dunia Islam :
1.       Jikalau ‘Ulum Al-Quran itu muncul pada abad ke-5 hijriah dengan memuatkan beberapa persyaratan untuk menjadi seorang Mufassir, tentu orang-orang yang hidup sebelum abad ke-5 hijriah itu tidak diakui sebagai seorang mufassir, sebab tujuh macam disiplin ilmu di atas belum ditemukan dan belum dirumuskan secara baku. Setidak-tidaknya pokok pikiran dari seseorang mufassir di saat itu masih diragukan kebenaran tafsirnya. Dalam hal ini termasuk segenap mufassirin yang muncul pada abad pertama hijriah sampai kepada penghujung abad keempat hijriah.
2.      Jikalau hipotesa butir pertama itu tidak benar, tentu bukan demikian maksudnya, karena latar belakang munculnya disiplin “‘Ulum Al-Quran” itu tidak lain adalah akibat munculnya keraguan tentang “kondisi mufassirin untuk masa berikutnya”, di mana mereka berminat menafsirkan Al-Quran, sedangkan syarat-syarat sebagaimana yang dicatatkan di atas tidak dimiliki mereka secara sempurna. Kondisi “‘Ulum Al-Quran” seperti yang telah dilukiskan di atas itu sangat jauh berbeda dengan kondisi “‘Ulum Al-Quran” yang dimiliki para mufassir yang muncul sebelum abad kelima hijriyah tersebut. Itu bermakna bahwa “‘Ulum Al-Quran” yang dirumuskan pada abad kelima hijriah itu adalah gambaran tentang ilmu-ilmu yang dikuasai oleh para mufassir terdahulu yang mulai dirasakan sangat langka dikuasai oleh para mufassir belakangan.
3.      Jikalau hipotesa butir kedua itu diakui kebenarannya, dan jikalau diukur pula nilai kualitas kemufassirinannya, tentu pada era sains dan teknologi dewasa ini dipandang sangat jauh tertinggal, karena telah berjarak sejauh ± 1000 tahun (10 abad) yang lalu. Setiap kita dipersilahkan membandingkan betapa para mufassir itu telah ketinggalan dalam penguasaan ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, antropologi, sosiologi dan lain-lainnya. Seluruh disiplin ilmu yang disebutkan di atas itu telah tercatat di dalam ayat-ayat Al-Quran, tetapi tidak pernah ditemukan sebagai syarat yang harus dikuasai oleh para mufassir pada butir-butir dari tujuh persyaratan yang dikenal itu.
4.      Jikalau tujuh persyaratan menjadi seorang mufassir menurut catatan di atas telah dianggap sempurna, maka penguasaan mufassir yang dimaksudkan di situ bukanlah bersifat universal terhadap Kitab Suci Al-Quran, tetapi tentu bersifat parsial, di mana penguasaan mufassir dimaksudkan cuma terbatas dalam konteks hukum Islam semata. Dengan begitu bagi mufassir yang hidup di era kontemporer ini (untuk penobatan sebagai mufassir kontemporer), maka persyaratan dimaksudkan seharusnya diberi penambahan butir kedelapan, yakni : “Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)”.
5.      Jikalau seorang mufassir itu tidak menguasai syarat kedelapan ini, maka mufassir tersebut dapat diklaskan pada “Mufassir Tradisional” atau “Mufassir Modernisasi”, dan ternyata bukan “Mufassir Kontemporer”.
Catatan :
Bandingkan dengan: Qur’an: Sumber Inspirasi Ilmu Pengetahuan AL-QURAN SUMBER INSPIRASI ILMU PENGETAHUAN, REPUBLIKA, 12 Nopember 2003 (Agus Purwanto) sbb: “Syekh Jauhari Thonthowi guru besar universitas Kairo penulis kitab tafsir al-Jawahir membuka tafsirnya dengan mengungkap fakta sekaligus menggugat ulama Islam. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat sekitar 150 ayat hukum sementara ayat kauniyah lima kali lipatnya, yakni sekitar 750 ayat. Ulama islam telah mengerahkan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk menulis ribuan kitab fikih tetapi nyaris tidak satu pun buku tentang alam ditulis”.




Syarat Syarat menafsirkan Al-Quran

syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:
1. Sehat Aqidah
Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.
2. Terbebas dari Hawa Nafsu
Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.
4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath”i sebagaimana ayat Al-Quran juga.
5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat
Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.
6. Merujuk kepada Perkataan Tabi”in
Para tabi”in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi”in.
7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya
Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.
Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, ”urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.
Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.
Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan ”urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-”arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.
8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir
Kita sering menyebutnya dengan ”Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-”aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.
9. Pemahaman yang Mendalam
Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.
Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.
Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna” Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi ”Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.
Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,








MENAFSIRKAN AL QUR'AN
         Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Jika kita ingin memperoleh ilmu, pikirkanlah dan renungkanlah makna-makna Al-Qur'an, karena di dalamnya terkandung ilmu-ilmu orang-orang terdahulu dan sekarang. Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adabnya terlebih dahulu". Jangan seperti pada zaman kita sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang bebrapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekarang melihat terjemahan Al-Qur'an, seseorang berani berpendapat mengenai Al-Qur'an.
Syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:
1.  Sehat Aqidah
        Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
         Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.
2. Terbebas dari Hawa Nafsu
          Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
           Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
           Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
           Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
          Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.
4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
          Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
       Tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.
5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat
         Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
         Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
        Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.
6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in
         Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
         Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.
7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya
        Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.
        Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.
         Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.
         Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
         Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.
8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir
        Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
        Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.          
        Alim ulama berkata, "Dalam menafsirkan Al-Qur'an diperlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu".
1.     Lughat (fitologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
2.     Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
3.     Sharaf (perubahan bentuk kata)
4.     Isytiqaq (akar kata)
5.     Ma'ani (susunan)
6.     Bayaan
7.     Badi'
8.     Qira'at
9.     Aqa'id
10.   Ushul Fiqih
11.   Asbabun Nuzul. Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
12.   Nasikh Mansukh
13.   Fiqih
14.   Hadits
15.   Wahbi
9. Pemahaman yang Mendalam
         Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.
        Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.
        Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.
Orang yang Tidak Akan Mampu Menafsirkan Al Qur'an
        Tertulis dalam Kimiatus-Sa'adah  bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan Al-Qur'an:
1.     Orang yang tidak memahami bahasa Arab,
2.     Pelaku dosa besar atau ahli bid'ah, yang dengan perbuatannya itu menjadikan hatinya gelap dan menutupi pemahamannya terhadap Al-Qur'an,
3.     Orang yang dalam akidahnya hanya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan pola pikirnya, ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami Al-Qur'an dengan benar.
          Banyak sekali kaum kafir yang mencoba memutar balikkan isi kandungan Al Qur'an yang tujuannya untuk menjauhkan umat Islam dari Islamnya, Apalagi, akidahnya saja sudah tidak tepat. Mau mencoba menafsirkan. Mereka hanya mencoba mengolok-olok saja.
Sumber:
Maulana Muhammad Zakariya, Al Kandahlawi Rah. A., Himpunan Fadhilah Amal, hal 19, Penerbit Ash-Shaff. Yogyakarta.

Syarat dan cara menafsir Al Quran
Seorang mufassir Alquran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat). Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh setiap mufassi r seperti berikut:

a. Syeikh Jalaluddin as-Suyuthi:

Syarat bagi seorang nufassir adalah menguasai ilmu nahwu, ilmu saraf, ilmu lughah, ilmu isytiqaq, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qiraat, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu asbabun nuzul, ilmu qashas, ilmu nasikh mansukh, ilmu hadits dan ilmu mauhibah.

b. Syeikh Manna’ al-Qaththan:

Secara ringkas, syarat dan tata cara menafsirkan adalah berakidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan lebih dulu Alquran dengan Alquran, mencari penafsiran dari sunnah, kerana al-Sunnah, pendapat para sahabat dan dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mendalami pokok-pokok ilmu yang bertalian dengan Alquran (‘ulum al-Quran) dan memiliki ketajaman fikiran.

Cara menafsirkan Alquran.

Cara menafsirkan Alquran yang benar dan baik adalah:

a. Menafsirkan Alquran dengan Alquran kerana kemungkinan di suatu tempat ayat Alquran telah diuraikan di tempat lain.

b. Menafsirkan Alquran dengan keterangan Al-Sunnah kerana sunnah berfungsi sebagai penjelasan ayat Alquran.

c. Menafsirkan Alquran dengan pendapat para Sahabat apabila tiada penafsiran dalam sunnah kerana mereka lebih mengetahui tentang tafsir Alquran, menyaksikan qarinah dan keadaan ketika Alquran diturunkan dan mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang soleh.

d. Menafsirkan Alquran dengan pendapat Tabi’in apabila tiada penafsiran dalam Alquran, sunnah mahupun dalam pendapat para sahabat menurut sebahagian besar para ulama.

e. Menafsirkan Alquran menurut kaedah-kaedah bahasa Arab dengan segala cabangnya kerana Alquran diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian kosa kata (mufradat) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkan menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimah.

Syarat-Syarat Ta’wîl.

Para ulama usul telah menetapkan syarat-syarat takwil agar takwil yang dihasilkan dapat diterima (maqbul) dan sahih. Ada 4 (empat) syarat iaitu:

a. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab).
Misalnya, takwil kata quru’ (dalam Qs. al-Baqarah [2]: 228) dengan erti haid atau suci adalah takwil sahih kerana sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau ‘urfi, tidak diterima.

b. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat) misalnya mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan.Takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya lemah (marjuh), atau musawi (sedarjat kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, maka takwil tersebut tidak diterima.
 

c. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qabil li at-ta’wil).
Misalnya, katanya adalah kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diertikan secara makna majazi (metaforis), dan sebagainya. Jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum),maka ianya tidak diterima.
 

d. Orang yang menakwil memiliki keilmuan untuk melakukan takwil. Takwil yang dilakukan oleh orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma’ârif al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima.Orang yang hendak melakukan takwil haruslah mujtahid yang memiliki ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat.
 





Rujukan:

Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut, Daar el-Fikr, 2005).
Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).
Al-Amidi, Al-Ihkâm fi Ushul al-Ahkam, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Abd al-‘Azhim al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan fi Ulum Alquran, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Abd al-Qadir Manshur, Mausu’ah ‘Ulum Alquran, (Suriyah, Dar al-Qalam al-‘Araby, cet ke-1 2002).
Al-Jurjani, At-Ta‘rifat, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum Alquran, (Beirut, Alam al-Kitab, cet. pertama, 1985).
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, (Kairo, Dar al-Turats, cet ke-3, 1984).
Khadim al-Haramain, Alquran dan Terjemahnya 1971.
Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Alquran, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).
M. Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut, Syirkah Dar al-Arqam, tt).
Wahbah Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).