Jumat, 04 Mei 2012

tafsir tentang tanggung jawab dan kebebasan


Disusun oleh Maharani Intan Derie dan Hilman Kusmayadi

A.  PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Di antara makhluk Tuhan, manusia adalah makhluk yang paling istimewa. Betapa tidak, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi Allah “kebebasan memilih” sebagai amanat yang tidak Allah berikan kepada langit, matahari, bumi, dan bulan. Dan ini barangkali sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Jadi sebagai khalifah Allah, manusia diberikan Tuhan bukan saja segala yang ada di muka bumi, tetapi juga kebebasan memilih yang merupakan hadiah dari Tuhan yang, menurut Jalaludin Rumi, amat patut kita hargai dan kita syukuri.
Setiap orang dapat membawa atau mengarahkan kemauan dirinya dengan segala tanggungjawabnya, dapat menempatkan dirinya dimana saja dia menghendaki, maju atau mundur, memuliakannya atau menghinakannya. Maka ia akan bertanggung jawab terhadap apa yang diusahakannya, terikat dengan apa yang dilakukannya. Allah telah menjelaskan kepada jiwa (manusia) ini jalan yang dapat ditempuhnya dengan kesadaran, lewat risalah yang Allah titipkan kepada utusan-utusan-Nya.
Perspektif setiap individu cenderung berbeda satu dengan yang lainnya, begitupun halnya dalam mengartikan kebebasan dan tanggung jawab itu sendiri. Yang pada intinya di setiap hak pasti ada kewajiban yang berimplikasi pada kebebasan dan tanggung jawab.

     A.2. Rumusan Masalah
            1. Bagaimanakah kebebasan yang dimaksud dalam Al-Qur’an ?
            2. Bagaimanakah Pertanggung jawaban yang dimaksud dalam Al-Qur’an ?
    A.3. Tujuan
            Salah satunya, dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kebebasan dan tanggung jawab dalam al-Qur’an dan mengetahui ayat-ayat yang berkaitan tentangnya.



B.  PEMBAHASAN
1.      Pembahasan Ayat-ayat tentang Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia
            Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.
            Orang yang hidup dalam kebebasan adalah mereka yang dapat bertindak tanpa terhalangi oleh hambatan-hambatan yang dibuat orang lain untuk menghalanginya. Namun, kebebasan yang seperti ini hanya dapat terwakili secara moral dan bersifat logis jika kebebasan itu sendiri sebagai prinsip tidak terlalu ditonjolkan.
Akhir-akhir ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur apapun maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami sebagai padanan kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Yang disebut pertama adalah kebebasan negatif, dimana segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (‘bebas untuk’) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan sendiri apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two Concepts of Liberty (1958).
Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus. Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.
Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan. Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): pertama, bebas dari ikatan hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta‘isa ‘abdu d-dinar’)[1]
            Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan’ Al-Kahfi [18]: 29)
ÈÈ@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ    
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.



            Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya.[2] Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Allah telah memberikan petunjuk-Nya secara jelas bagi hambanya, manakah jalan yang sebaiknya ditempuh atau pilihan yang sebaiknya di pilih, lewat risalah-risalah yang Dia titipkan kepada para utusan-utusan-Nya. Sebenarnya manusia tidak usah memilih lagi mana yang benar dan mana yang harus dipilih. Tapi penafsiran atas risalah itulah yang berbeda sehingga menuntut seseorang untuk memilih, penafsiran mana yang akan saya pilih. Dan Allah pun telah menyiapkan konsekuensi bagi setiap pilihannya dengan seadil-adilnya. sebagimana yang tertera dalam surat (Al-Insan [76]: 3-5)
$¯RÎ) çm»uZ÷ƒyyd Ÿ@Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ   !$¯RÎ) $tRôtFôãr& šúï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 6xÅ¡»n=y Wx»n=øîr&ur #·ŽÏèyur ÇÍÈ   ¨bÎ) u#tö/F{$# šcqç/uŽô³tƒ `ÏB <¨ù(x. šc%x. $ygã_#tÏB #·qèù$Ÿ2 ÇÎÈ  
(3) Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (4). Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (5). Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur

Manusia diberikan kebebasan menentukan pilihan hidup untuk kembali kepada eksistensi yang alamiah (pra-manusiawi), atau mengembangkan diri hingga mencapai eksistensi dirinya yang lebih manusiawi. Pilihan pertama berarti memperturutkan hawa nafsunya, sementara pilihan kedua berarti mengikuti hati nurani. Bagi agamawan, agama diturunkan untuk membimbing manusia agar sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk primordial yang sakral. Manusia dalam mengembangkan potensi nalar, nurani dan keimanannya menjadikan dirinya menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu, apabila sebagai manusia kita hanya memperturutkan nafsu ekonomi semata, lantas apa bedanya manusia dengan binatang. Jadi, ada sebab akibat dalam suatu kebebasan dalam islam, dan kebebasan juga bukan berarti bebas tanpa batas, tapi tetap ada hal yang harus d perhitungkan.

Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab timbul karena telah diterima wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab seimbang dengan wewenang. Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya.
Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab atas kepemimpinan itu”. (Al-Hadits, Shahih Bukhari – Muslim)
Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab hari esok dengan menghindarinya pada hari ini”. (Abraham Lincoln)
                        Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat
* (#rçŽà³ôm$# tûïÏ%©!$# (#qçHs>sß öNßgy_ºurør&ur $tBur (#qçR%x. tbrßç7÷ètƒ ÇËËÈ   `ÏB Èbrߊ «!$# öNèdrß÷d$$sù 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ËLìÅspgø:$# ÇËÌÈ   óOèdqàÿÏ%ur ( Nåk¨XÎ) tbqä9qä«ó¡¨B ÇËÍÈ  
(22)(kepada Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, (23). selain Allah; Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (24). dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena Sesungguhnya mereka akan ditanya:



yang artinya : (Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya ( dimntai pertanggungjawaban ).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telab melakukan kedzaliman. Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhiarat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya ?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
 Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al-an’am
@è% uŽöxîr& «!$# ÓÈöö/r& $|/u uqèdur >u Èe@ä. &äóÓx« 4 Ÿwur Ü=Å¡õ3s? @à2 C§øÿtR žwÎ) $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 §NèO 4n<Î) /ä3În/u ö/ä3ãèÅ_ó£D /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ öNçFZä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tGøƒrB ÇÊÏÍÈ  
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."

Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
            Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah di perbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal ?
            Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Karena, boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.[3]
                        Manusia dapat memilih dua jalan (baik atau buruk), tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syaratsyarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15)
. Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286) Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya,  sekalipun hal tersebut diketahuinya.
            Adapun perhitungan amal yang disajikan dalam surat An-Najm [53]: 36-41 : ÷Pr& öNs9 ù'¬6t^ム$yJÎ/ Îû É#ßsß¹ 4ÓyqãB ÇÌÏÈ   zOŠÏdºtö/Î)ur Ï%©!$# #®ûur ÇÌÐÈ   žwr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ   br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ   ¨br&ur ¼çmuŠ÷èy t$ôqy 3tãƒ ÇÍÉÈ   §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ  
(36). ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? (37). dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (38). (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, (39). dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (40). dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). (41). kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,
Ayat ini menjadi suatu dasar dari pertentangan di kalangan ulama berkenaan dengan pertanyaan “Sampaikah bacaan Al-Qur’an masih hidup kepada orang yang sudah meninggal?” yang biasa disebut oleh Ahlussunah Wal Jama’ah sebagia tahlilan. Yang akhirnya ada dua kubu dalam meyakini hal ini tidak sampai dan sampai. dan masing-masing dari mereka pun tentunya memiliki argumen masing-masing yang tak kalah kuatnya. Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mengambil sesuai dengan pemahaman dan keyakinan kita mengenai argumen-argumen yang di nyatakan.

2.      Penafsiran
a.      Manusia Bebas Berkehendak
-          (Al-Kahfi [18]: 29)
-          È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ  
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
-           
-           
l Ibnu Katsir
            Maksud kebebasan untuk beriman atau kafir di sini yakni merupakan ancaman yang sangat keras. Karena itu, Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu,” yakni orang-orang yang kafir kepada Allah, kepada Rasul dan Kitab-Nya, “neraka yang gejolaknya mengepung mereka”, yakni memagari mereka. Ibnu Juraij berkata, “Ibnu Abbas berkata, yakni benteng dan api.”
Firman Allah ta’ala, “Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.” Ibnu Abbas berkata, “Al-Muhli berarti air yang kasar seperti endapan minyak. Air itu hitam, bau, kasar, dan panas. Karena itu, Allah ta’ala berfirman, “Yang menghapuskan muka” karena demikian panasnya. Jika orang kafir akan meminumnya lalu dia mendekatkan kewajahnya, maka hanguslah mukanya dan berjatuhanlah kulit wajahnya.
            Firman Allah Ta’ala, “itulah minuman yang paling buruk.” yakni, alangkah buruknya minuman ini. hal ini sebagimana firman Allah ta’aladalam ayat lain, “Dan diberi minum dengan air yang mendidih sehingga menghancurkan usus-usus mereka.” (Muhammad: 15) FirmanAllah Ta’ala, “Dan tempat istirahat yang paling jelek,” yakni neraka itu merupakan tempat tinggal, topik perbincangan, tempat berkumpul, dan tempat tempat istirahat yang paling buruk. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat lain, “ sesungguhnya neraka itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.”[4]
l  Tafsir Al-Mishbah
            Ayat ini memerintahkan Rasul saw. menegaskan kepada semua pihak termasuk kaum musyrikin yang aknguh itu bahwa: “Dan katakanlah wahai Nabi Muhammad saw. bahwa: kebenaran yakni wahyu ilahi yang aku sampaikan ini datangnya dari Tuhan Pemelihara kamu dalam segala hal; maka barang siapa di antara kamu, atau selain kamu yang ingin beriman tentang apa yang kusampaikan ini maka hendaklah ia beriman, keuntungan dan manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri, dan barang siapa diantara kamu atau selain kamu yang ingin kafir dan menolak pesan-pesan Allah maka biarlah ia kafir.....”[5]    (56)
-                      (Al-Insan [76]: 3-5)
$¯RÎ) çm»uZ÷ƒyyd Ÿ@Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ   !$¯RÎ) $tRôtFôãr& šúï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 6xÅ¡»n=y Wx»n=øîr&ur #·ŽÏèyur ÇÍÈ   ¨bÎ) u#tö/F{$# šcqç/uŽô³tƒ `ÏB <¨ù(x. šc%x. $ygã_#tÏB #·qèù$Ÿ2 ÇÎÈ  
(3). Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (4). Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (5). Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur

l Tafsir Ibnu Katsir
            Menerangkan dan menjelaskannya, sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami tunjuki dia dua jalan.” Artinya Kami jelaskan kepadanya jalan kebaikann dan jalan keburukan, Terdapat sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah r.a. katanya Rasulallah saw. bersabda, “Setiap anak itu dilahirkan di atas fitrah sehingga digerakkan lisannya, apakah dia bersyukur atau kufur.”
            Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun yang keluar melainkan di pintunya terdapat dua bendera. Satu bendera di tangan malaikat dan satu bendera di tangan setan. Bila keluar untuk sesuatu yang dicintai Allah, dia akan diikuti oleh bendera malaikat, maka tidak  hentinya dia berada di bawah naungan bendera malaikat hingga kembali ke rumahnya. Namun, bila keluar untuk sesuatu yang dibenci oleh Allah, dia akan diikuti olrh bendera setan, maka tidak hentinya dia berada di bawah naungan bendera setan sehingga dia kembali ke rumahnya.”[6]
l Tafsir Al-Misbah
            Kata hadainaahu terambil dari kata Hidaayah yang berarti memberi petunjuk yang disampaikan secara halus dan lemah lembut menuju apa yang diharapkan. Kata as-sabiil yang dimaksud di atas adalah Tuntunan Allah dan rasul. Diibaratkan sebagai penunjuk jalan, manusia diibaratkan sebagai pejalan, tuntunan agama adalah jalan yang hendak ditelusuri, dan batas akhir jalan adalah tujuan yang hendak dicapai yakni surga.
            Adapun yang dimaksud dengan kata Syaakiran / Bersyukur adalah siapa yang menyambut hidayah Allah itu. Penyambutannya dinamai syukur karena syukur adalah menggunakan anugerah sesuai dengan tujuan yang diberinya. Hidayah Allah dimaksud agar manusia menggunakannya sebagai petunjuk.
            Ayat tersebut menggunakan bentuk hiperbola (Mubaalaghah) ketika menunjuk (manusia) yang sangat kafir, yakni dengan kata Kafuuran. akan tetapi ketika menyebutkan (manusia) yang bersyukur ayat ini tidak menggunakan bentuk tersebut, yakni kata Syaakiran / yang bersyukur. Ini agaknya disebabkan karena jumlah yang syakuur (amat bersyukur) dari hamba-hamba-Nya amat sedikit sekali sebagiamana ditegaskan oleh firman-Nya:
Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang syukuur (amat syukur)” (QS. Saba’ [34]: 13) Sedangkan yang Kufuur (amat durhaka) sungguh banyak.
Kata al-abraar adalah bentuk jama’ dari kata barr dan birr. Kata yang terdiri dari huruf-huruf ini mengandung beberapa makna antara lain, kebenaran. Dari sini lahir makna ketaatan. karena taat membenarkan yang diperintahnya dengan tingkah laku; menepati janji, karena yang menepati janjinya, membenarkan ucapannya, juga dengan makna kejujuran dalam cinta. Seseorang disifati dengan kata barr atau baarr dia yang meluas lagi banyak kebaikan serta kebaktianny. Thabaathabaa’i bahwa seseorang yang menyandang sifat ini adalah ia yang baik amalnya tanpa menghendaki bagi dirinya satu manfaat, balasan atau terima kasih. Ini berarti ia melakukan kebaikan itu, karena kebaikannya bukan karena manfaat yang kembali pada dirinya. Ia melakukannya walau hatinya merasa berat, namun ia menekan dan bersabar menghadapi gejolak nafsunya itu agar amal baik itu dapat dilakukannya secara sempurna.[7]
l Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
            Diungkapkannya petunjuk dengan kata “syukur” karena syukur merupakan getaran terdekat yang datang kedalam hati orang yang mendapat petunjuk, Syuur adalah getaran pertama yang datang kedalam hati yang beriman di dalam momentum ini. Karena itu, kalau dia tidak bersyukur, dia kafir. Digunakannya bentuk kata kuffur ini untuk menunjukkan intensitas kekafiran. dan tahulah manusia bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan tertentu, ia terikat pada poros, dan ia dibekali dengan pengetahuan dan pengertian. dan karena itulah ia akan dihisab dan dimintai pertanggung jawaban, dan ia di sini (di dunia ini) adalah untuk diuji dan untuk menempuh ujian itu. maka selama hidupnya di muka bumi, adalah masa ujian yang harus ditempuhnya, bukan masa untuk bermain dan bersenang-senang serta berbuat yang sia-sia.   
            Oleh karena itu pulalah, adanya beban berat yang harus dipertanggungjawabkannya dan harus disikapi dengan penuh keseriusan dan kepatuhan, yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan ini, sebagai pelaksanaan ujian yang diharapkan membawa hasil dan nilai yang baik. Selanjutnya dipaparkan apa yang bakal diperoleh manusia setelah menempuh ujian ini dan setelah memilih jalan kesyukuran atau kekafiran.[8]
b.                  Manusia Bertanggung Jawab atas setiap Pilihan Kehendaknya
-                      (Al-Baqarah [2]: 286
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."


l Tafsir Al-Misbah
Kata “Laha” yang di atas diterjemahkan dengan baginya, yakni pahala, dan “’alaiha” dipahami dalam arti atasnya dosa. memang kata ‘ala diginakan anatara lain untuk menggambarkan sesuatu yang negatif, karena itu di atas ia pahami sebagia dosa, bertolak belakang dengan kata lahu yang digunakan untuk menggambarkan kata yang positif. Jika anda berkata (Ad’uu lahu) maka itu berarti saya mendo’akan kebaikan untuknya. tetapi jika (Ad’uu ‘Alaihi) maka artinya adalah saya mendo’akan bencana atasnya.
            Selanjutnya terbaca di atas ketika ini menggambarkan usaha yang baik, kata yang digunakannya adalah kasabat, sedang kettika berbicara tentang dosa adalah iktasabat. walaupun keduanya berakar sama, tetapi kandungan maknanya berbeda. Patron kata iktasabat digunakan untuk menunjukkan adanya kesungguhan, serta usaha ekstra. berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu dengan mudahdan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh. Penggunaan kasabat  dalam menggambarkan usaha positif, memberi isyarat bahwa kebaikan, walau belum dalam bentuk niat dan bellum wujud dalam kenyataan, sudah mendapat imbalan dari Allah. berbeda denga keburukan. ia baru dicatat sebagi dosa setelah diusahakan dengan kesungguhan dan lahir dalam kenyataan. Di samping itu, penggunaan bentuk kata tersebut juga menggambarkan, bahwa pada prinsipnya jiwa manusia cenderung berbuat kebajikan. memang jika kejahatan itu telah berulang-ulang dilakukan seseorang hingga menjadi kebiasaannya, maka ketika itu apa yang dilakukannya tidak lagi dilukiskan dengan iktasabat. Lihatlah al-Baqarah: 81 di sana digubnakan kata kasaba, bukan iktasaba, karena seperti bunyi ayat tersebut, yang bersangkutan telah diliputi dosanya, mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.[9]
            l Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
            Pandangan seorang muslim terhadap rahmat dan keadilan Rabbnya dalam memberikan tugas kekhalifahan kepadanya di muka bumi, terhadap ujian yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas itu, dan terhadap balasan atas semua tindakannya kelak di akhirat. Ia yakin akan rahmat dan keadilan atas semua itu. Lalu ia tdak merasa kesal atas tugas yang diberikan dan tidak merasa berat untuk melaksanakannya. Ia percaya bahwa Allah yng memberikan tugas itu lebih tahu tentang kemampuannya. Kiranya tugas itu di luar kemampuannya, tentu Dia tidak akan memberikannya. Di samping pandangan ini memberikan ketenangan dan ketentraman dalam hati, juga mendorong dan memperkuat tekad orang mukmin untuk mengemban tugasnya.
            Lahaa maa kasabat wa’alaihaa maktasabat , di sisni terlihat tanggung jawab individual. seseorang hanya akan mendapatkan ganjaran dari perbuatannya, baik perbuatan itu baik maupun buruk. setiap manusia kelak akan mendapatkan buku khusus dari Rabbnya. Disitu tercatat semua pahala dan dosanya. Saat itu tidak mungkin membebankan kesalahan kepada orang lain, dan tidak pula bisa minta pertoloak dengan dari siapa pun. Pada hari kiamat kelak, seseorang tidak bisa menolong orang lain dan seseorang tidak dapat ngalihkan dosanya kepada orang lain. Karena itu, setiap orang bersemangatmembela diri dan melindungi hak Allah atas dirinya. Sebab, dia sendirilah yang akan menerima pembalasan atas semua tiu nanti di akhirat.[10]
-                      (An-Najm [53]: 36-42)
÷Pr& öNs9 ù'¬6t^ム$yJÎ/ Îû É#ßsß¹ 4ÓyqãB ÇÌÏÈ   zOŠÏdºtö/Î)ur Ï%©!$# #®ûur ÇÌÐÈ   žwr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ   br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ   ¨br&ur ¼çmuŠ÷èy t$ôqy 3tãƒ ÇÍÉÈ   §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ   ¨br&ur 4n<Î) y7În/u 4pktJYßJø9$# ÇÍËÈ  
(36). ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? (37). dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (38). (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, (39). dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, (40). dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). (41). kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna, (42). dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan (segala sesuatu),


l Tafsir Ibnu Katsir
            “Dan lembaran-lembaran Ibahim yang selalu menyempurnakan janji?” Yaitu, melakukan semua perintah dan melakukan semua larangan, serta menyampaikan risalah secara sempurna dan utuh. Karenanya, ia hendak menjadi imam bagi umat manusia yang akan dijadikan suri teladan dalam semua kebijakan, perkataan dan perbuatannya. Allah berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu, ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif, dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan T uhan.” (An-Nahl: 123)
            Kemudian mulailah Allah SWT menjelaskan wahyu yang terdapat di dalam mushaf Ibrahim dan Musa, ‘Yaitu, bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikil dosa orang lain. sebagaimana firman-Nya, “Dan jika seseorang yang berat dosa memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun, meskipun (orang yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (Faathir: 18)
            Selanjutnya Allah SWT berfirman, “dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya),” Yaitu, sebagaimana tidak akan dibebankan kepadanya dosa orang lain, demikian pula dia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari apa yang diusahakan oleh dirinya sendiri. Berangkat dari ayat ini Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya berkesimpulan bahwa pahala membaca Al-Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati karena bacaan itu tidak termasuk amal dan usaha mereka. Karenanya, rRasulullah saw. tidak menyunatkan dan menganjurkan umatnya melakukan hal itu. Dan, tidak pula membimbing mereka untu melakukan demikian, baik bimbingan itu melalui nash maupun melalui isyarat. juga perbuatan ini tidakpernah dilakukan oleh para Sahabat r.a.. Jika merupakan amal baik, tentu mereka kan melakukannya terlebih dahulu dari pada kita. Dan cara-cara untuk mendekatkan siri kepada Tuahan harus dibatasi pada cara yang berlandaskan pasa nash-nash saja, tidak boleh dilakukan berdasarkan ukuran dan pemikiran belaka.
            l Tafsir Al-Misbah
Yang terdapat dalam lembaran-lembaran kitab Taurat dan lembaran-lembaran Ibrahim adalah bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ayat di atas menyebut Nabi Musa dan Ibrahim as. Kedua Nabi ini disebut secara eksplisit, karena masyarakat ketika itu sangat mengenal dan mengagumi keduanya. Orang-orang Arab merasa mengikuti Nabi Ibrahim as. sedang masyarakat Yahudi merasa mengikuti nabi Musa as.
            Didahulukannya menyebutkan Shuhuf Musa atas Shuhuf Ibrahim as., boleh jadi untuk menyebutkan sifat terpuji Nabi Ibrahim as. sekaligus untuk mempersamakan bunyi fashilat akhir ayat di atas dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
            Huruf lam pada firman-Nya; lil insan berarti memiliki. kepemilikan dimaksud adalah kepemilikan hakiki, yang senantiasa akan emnyertai manusia sepanjang eksistensinya. ia adalah amal-amalnya yang baik dan yang buruk. ini berbeda dengan kepemilikan relatif, seperti kepemilikan harta, anak kedudukan dan lain-lain.
            kata sa’aa pada mulanya berarti berjalan cepat namun belum sampai tingkat berlari. Kata ini kemudian digunakan dalam arti berupaya secara sungguh-sungguh. perolehan syafa’at atau do’a dan istigfar yang diperoleh seseorang dari pihak lain, merupakan bagian dari buah amalnya, yakni keimanan kepada Allah swt., karena tanpa keimanan itu maka ia tidak akan memperoleh syafa’at, tidak juga akan dido’akan atau diterima do’a yang dipanjatkan kepada Allah untuknya. Dalam konteks upaya itulah Rasul saw. bersabda: “Apabila mati salah seorang putra Adam, maka terputuslah amalnya kacuali dari tiga sumber, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfa’at serta anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu ‘Amr Ibn Abdillah ra.)[11] 
            l Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
            Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, baik karena untuk meringankan maupun untuk membebani orang lain. Seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk meringankan beban dan dosanya. Seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk patuh, lalu dia memikul sedikit beban orang lain. Demikian pula seseorang tidak dihisab kecuali berdasarkan usaha, upaya dan amalnya. Dia tidak mendapat sedikitpun dari usaha orang lain dan tidak dikurangi sedikitpun karena diberikan kepada orang lain.
            Dari ayat yang mulia ini Imam Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa hadiah bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada orang yang meninggalsebab ia tidak termasuk amal dan usaha orang yang meninggal. Adapun do’a dan sedekah disepakati ulama ihwal sampainya kepada mayat, karena kedua hal ini ditegaskan oleh pembuat syari’at.
            Setiap orang akan meraih balasan usahanya secara penuh dan lengkap tidak dikurangi dan dizalimi. Demikianlah telah ditetapkan prinsip tanggung jawab individual yang disandingkan dengan pembalasan yang adil. Sehingga, prinsip ini mewujudkan nilai kemanusiaan dikalangan umat manusia. Nilai yang bertumpu pada pertimbangan bahwa manusia sebagai makhluk yang lurus, bertanggung jawab, percaya diri, dan mulia.[12]
-                      (Al-Muddatsir [74]: 38)
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ  
                                tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,
l Tafsir Ibnu Katsir
            Maksud ayat tersebut yaitu setiap orang itu bergantung dengan amalnya dan hari akhirat nanti.demikian lah yang dikatakan Ibnu Abbas dan yang lain.[13]
            l Tafsir Al-Mishbah
            Kata kasabat demikian juga kata iktasaba terambil dari kata kasaba yang maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak madharat. pada mulanya kata ini digunakan apabila perbuatan tersebut digunakan oleh anggota badan manusia, khususnya tangannya, tetapi Al-Qur’an menggunakannya juga bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia.
            Pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani berpendapat lain. menurutnya kata iktasaba tidak digunkan kecuali untuk perbuatan yang manfaatnya diperoleh oleh si pelaku, sedangkan kata kasaba sebagaimana ayat di atas digunakan untuk sema perbuatan, baik yang mnafaatnya tertuju kepada pelaku maupun kepada selainnya. kalau demikian, kata kasabat dalam ayat ini mencakup amal-amal baik dan buruk.
            Ayat 38 di atas menegaskan bahwa setiap pribadi tergadai di sisi Allah. Ia harus menebus dirinya dengan amal-amal perbuatan baik. Setiap pribadi seakan berhutang kepada Allah swt. dan ia harus membayar kembali utangnya kepada Allah untuk membebaskan dirinya.[14]
            l Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
            Di bawah bayang-bayang irama yang mengesankan sekaligus menakutkan ini diumumkanlah tanggung jawab masing-masing orang atas dirinya, dan dibiarkanlah mereka memilih jalan hidupnya dan tempat kembalinya di akhirat nanti, dan dinyatakan pula bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan semua usaha yang telah dipilihnya, akan mempertanggungjawabkan amal perbuatan dan dosa-dosanya.
            Setiap orang dapat membawa atau mengarahkan kemauan dirinya dengan segala tanggung jawabnya, dapat menempatkan dirinya dimana saja dia menghendaki, maju atau mundur mamuliakannya atau menghinakannya. Maka dia akan bertnggung jawab atas apa yang diusahakannya, terikat dengan apa yang dilakukannya.[15]
3.      Analisis
Terdapat hubungan erat antara kebebasan dan tanggung jawab. Ruang kebebasan harus diisi dengan sikap dan tindakan, yang artinya bukan bebas tanpa batas begitu saja malah justru sebaliknya, ada konsekuensi dalam segala sesuatu. Kebebasan memungkinkan kita sendiri yang menentukan, karena kadang orang lain bisa mempengaruhi atas kebebasan kita. Tindakan yang diambil dalam kebebasan menjadi tanggung jawab kita. Kebebasan yang dimiliki tidak boleh diisi dengan sewenang-wenang, tetapi secara bermakna. (Semakin bebas semakin bertanggung jawab). Penolakan bertanggung jawab akan mempersempit wawasan (hanya memperhatikan diri sendiri) dan memperlemah diri sendiri. Sebaliknya semakin bertanggung jawab semakin bebas.
C.  Kesimpulan
Jadi, dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman Allah: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” (QS. Fushshilat:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan kebablasan.
Orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan. Manusia dikatakan bebas apabila ia terikat pada norma-norma. Apabila ia tidak mengakui hal itu maka ia tetap tidak bebas, karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terikat pada hokum yang lebih tinggi dan tidak sempurna. Norma tidak memaksa manusia, sebaliknya, norma memberikan kebebasan kepadanya. Manusia bebas untuk menerima atau tidak menerima norma. Meskipun demikian, kebebasan merupakan kenyataan yang begitu pentingnya, sehingga tegak runtuhnya kesusilaan tergantung pada pengakuan atau pengingkaran atas kebebasan.
Inilah ungkapan kebebasan yang perlu kita renungkan, "und das Gesetz nur kaum uns Freiheit Geben", artinya, hanya hukumlah yang dapat memberikan kebebasan (Gothe) dan "Kebebasan yang sejati memperhatikan hokum" (Jacques Perk). Dan inilah ungkapan senada mengenai Kebebasan berdasarkan Al-Qur'an.
"Katakanlah kebenaran datang dari Rabb-mu. Siapa yang mau percayalah ia, siapa yang mau janganlah percaya"(Q.S Al-Kahfi 18;29)
Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instingtif.
!$tB z>$|¹r& `ÏB >pt6ŠÅÁB žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 `tBur .`ÏB÷sム«!$$Î/ Ïöku ¼çmt6ù=s% 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÈ  
Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya dan Allah Maha Mengetahui ats segala sesuatu. (At Taghobun 11)



Daftar Pustaka
Mufradat Alfazh al-Qur’an
Prolegomena to the Metaphysics of Islam

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh, Drs. Syihabuddin, M.A. (Jakarta: GEMA INSANI, 2000)

Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002)
Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin, dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004)
www.ikardi.co.id


[1] Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224.
[2] Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4.
[3] www.ikardi.or.id
[4] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh, Drs. Syihabuddin, M.A. (Jakarta: GEMA INSANI, 2000)
[5] M Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 56
[6] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh, Drs. Syihabuddin, M.A. (Jakarta: GEMA INSANI, 2000), hal.875
[7] M Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.654
[8] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin, dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004), hal.121

[9] M Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.621
[10] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin, dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004), hal.141
[11] Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 432-434

[12] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin, dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004), hal.82-83
[13] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh, Drs. Syihabuddin, M.A. (Jakarta: GEMA INSANI, 2000),
[14] Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah (jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.605-606
[15] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11/ penulis, Sayyid Quthb; penerjemah, As’ad yasin, dkk; penyunting, Tim GIP. –Cet,1- (jakarta: Gema Insani,2004), hal.98